Rabu, 05 Maret 2014

Is, saya pengen daftar vicarisss....

Beberapa hari yang lalu seorang saudari, sahabat, teman seperjuangan dari GKS meminta dukungan doa karena akan memasukkan lamaran untuk menjadi vicaris. Membaca pesan singkat yang ia kirimkan melalui SMS tak ayal membuat saya syok menatap HP. Vicaris? Bukankah teman saya ini sedang merencanakan melanjutkan studi ke S2? 

SMS ini mengganggu saya. Mengapa? Karena dari angkatan 2008 asal GKS yang berkuliah di FTeol hanya 3 orang (angka yang sangat jarang dan hebatnya kami bertiga perempuan semua). Salah seorang mendahului kami ke rumah Bapa pada awal tahun 2012 lalu. Ia pergi menyelesaikan tugas pelayanannya di dunia. Kini tinggallah saya dan teman saya ini yang sudah lulus dari FTeol 2-1 tahun yang lalu. Saya memilih tinggal di Jawa dan bekerja serta melayani di kota kecil yang dinginnya seperti Salatiga tapi tidak/belum senyaman Salatiga. Tetapi teman saya ini memilih pulang ke Sumba. Di sana ia jatuh sakit tetapi masih berencana untuk melanjutkan studi S2. Lalu entah bagaimana ia sembuh dan sekarang saya mendapat kabar bahwa ia akan melamar ke kantor Sinode GKS untuk menjadi VICARIS.

Pagi tadi ia kembali mengirimkan pesan. Ia sudah diterima sebagai Vicaris GKS dan ditempatkan di GKS Tenggaba. Membaca sms itu banyak perasaan bergejolak di hati saya. Senang, excited, wow, bahagia, dan satu perasaan aneh yang tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Mungkin perasaan itu adalah perasaan menghakimi dari dalam hati kecil saya => "kapan kamu akan menjadi vicaris?"

Sejujurnya saya sangat senang. Sebab teman, sahabat, saudari saya ditempatkan di gereja dimana di sana keluarga mama besar berkumpul. Gereja itu adalah kampung halaman mama. Menerima dia sama saja dengan menerima seorang anak perempuan seperti saya. Saya hanya sedikit kuatir dengan pertanyaan: "kenal nona ris?" "dia sudah selesai kuliah?" "oh, kenapa belum pulang jadi vicaris?" (saya berharap sih pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah ditanyakan). 

Bukan ini sebenarnya yang menyebabkan perasaan aneh di hati saya. Bukan. Perasaan itu adalah perasaan rindu sekaligus perasaan ego saya yang tidak/belum siap menjadi vicaris. Selain di sisi lain, saya benar-benar tergila-gila untuk studi lanjut, di sisi yang lain saya tidak benar-benar siap menjadi vicaris. Bukan Vicarisnya yang membuat saya tidak siap. Sebenarnya saya sedang tidak siap memikul salib. Saya tidak siap jika ditempatkan di jemaat pedesaan yang tidak mempunyai listrik dan sinyal. Saya tidak siap ditempatkan menjadi pendeta jemaat seumur hidup di satu jemaat apalagi jika itu di pedesaan. Bagaimana dengan keluarga saya? Bagaimana jika saya menikah? Anak-anak saya, bisakah mereka mengenyam pendidikan yang layak jika di desa? dan sejuta penolakan-penolakan lain.

Saya tahu, saya terlalu sombong. Saya lupa pada satu-satunya keinginan di hati saya dulu dan janji saya pada papa sebelum berangkat kuliah ke Jawa. Dulu saya berjanji untuk pulang dan menjadi pendeta. Namun sekarang untuk pulang saja saya bergumul terlalu banyak. Sampai di titik ini saya sadar memikul salib bukan perkara yang mudah. Itu sebabnya saya lebih memilih menghindari salib, memilih jalan yang lain yang lebih mudah. Sungguh menyedihkan.

"Salib memang lambang penghinaan sehingga tidak banyak orang mau menjadi hina karena memikul salib."

Begitu tulis saya di renungan persekutuan wilayah bulan ini. Dan saya tertegun ketika mengetik kalimat ini. Kalimat ini menggambarkan diri saya. Salib memang lambang penghinaan sehingga saya TIDAK MAU MENJADI HINA KARENA MEMIKUL SALIB.

Ya Tuhan..... 
Sementara banyak teman-teman seperjuangan saya berlomba-lomba menyerahkan diri melayani Tuhan, saya menghindar dari jalan ini. Alasannya adalah karena saya merasa ini jalan kehinaan. Saya tidak siap tertolak, tidak siap hidup sederhana, tidak siap dipakai Tuhan. Saya tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap Tuhan... Saya sungguh-sungguh berharap setelah masa prapaskah ini saya benar-benar dapat memutuskan saya akan ke mana. 

Kalimat yang saya tulis di atas tidak berhenti di kalimat itu. masih ada lanjutannya: 


"Tetapi di sisi yang lain salib adalah lambang kemenangan, pemuliaan dan kehidupan. Tidak ada kehidupan tanpa salib dan kematian. Puncak kemenangan kekristenan justru terjadi di masa paling kelam yaitu di masa penderitaan. Salib dan kematian Yesus adalah puncak kemenangan orang Kristen. Tidak ada kebangkitan dan jaminan hidup kekal tanpa salib dan kematian."

Mengimani, melakukan dan mengikuti jalan salib inilah yang saya gumuli dan sedang perjuangkan selama 40 hari ini. Semoga saya dapat terus mengikut Dia. Berjalan terseok-seok... Langkah-langkah kecil... sampai kalimat memelas ini "is, saya pengen daftar vicaris..." dapat saya jawab dengan pasti "yuk..."


*postingan terjujur dari lubuk hati yang paling dalam*

NB: bagi sahabat terbaik saya, selamat melayani ya. terima kasih mengingatkan saya tentang hal ini

5 komentar:

  1. well... kita layaknya berada di persimpangan jalan.. jalan yang kita pilih harusnya jalan pertama.. ada yang langsung melewati jalan yang harus dilalui itu.. ada juga yang ragu.. nah, yang ragu ini ada 2 pilihan.. tetap di tempat atau memilih jalan yang lain.. saya kira pilihan kedua untuk yang ragu lebih baik.. ada kalanya kita perlu melihat jalan lain untuk memilih yang terbaik.. memutar sedikit untuk kembali pada yang pertama.. ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. saya kira pilihan kedua untuk yang ragu lebih baik.. ada kalanya kita perlu melihat jalan lain untuk memilih yang terbaik.. memutar sedikit untuk kembali pada yang pertama.

      terima kasih Rin, saya merasa jauh lebih baik stlh membaca komen ini, bikin mata berkaca-kaca juga.
      kadang suka menyesali tahun2 yang berlalu, tetapi benar, jalan memutar akan membawa kita kembali pada jalan pertama yang seharusnya :)
      thanks Rin :)

      Hapus
  2. seperti bangsa Israel yang keluar dari tanah Mesir ke tanah Kanaan melewati waktu 40 tahun pdhl mungkin kalau lewat jalan lain tidak selama itu.dan sblmnya ada tulah2 yang Tuhan berikan untuk menyadarkan bngsa Israel n Mesir bahwa Tuhan Mahakuasa..smua Tuhan ijinkan terjadi ..jadi Ris tenang aja..Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih baik..Tuhan masih ingin membentukmu menjadi pribadi yang kuat baik iman mental sehingga pada waktu nanti entah kapan..Tuhan ijinkan..dirimu sudah siap menopang salibNya, "bahumu" juga sudah kuat. Tetap semangat yaaa..:)Tuhan menyertaimu ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. kak... mewek saya baca komen ini
      terima kasih terima kasih menyadarkan saya ttg ini
      mungkin ini memang padang gurun bagi saya yang 'tegar tengkuk'
      di padang gurun ini sy harus belajar memiliki bahu yang kuat, mengasah mental untuk jd pribadi yang dewasa..
      terima kasih untuk komennya kak dan Rini yang menguatkan :)

      Hapus
    2. iya Ris,,sama-sama :) tetap semangat yaa! :)

      Hapus