Senin, 27 Januari 2014

Mungkinkah ini..........



Bagaimana mungkin seseorang nampak begitu dekat saat ia jauh?
Bagaimana mungkin ia seperti ada di sampingmu saat ia sebenarnya tak di sana?
Kata apa yang mungkin dapat menggambarkan hal ini?
Tidakkah hal ini abnormal?

Ataukah ini hanya halusinasi saat kamu membangun kekaguman yang besar terhadap seseorang?

Kamu harus bertemu
Kamu harus duduk di sampingnya untuk mengetahui apakah detak jantungmu bekerja lebih cepat dari biasanya
kamu harus memastikan apakah ada hormon-hormon yang bekerja tak lazim saat ia benar-benar ada di sisimu

Perasaan itu tak nampak saat kamu hanya bisa mendekap bayangan semu
Itu tak nyata saat kamu hanya bertemu dia dalam pikiranmu sendiri

Mungkinkah disana ia terusik?
Mungkinkah pesan tentang sesuatu yang tak dapat dimengerti itu dapat sampai pula ke hatinya?
Mempengaruhi hormon-hormon dalam tubuhnya untuk bekerja diluar batas normal?
Mungkinlah jantungnya berdetak seirama dengan detak jantungmu?
Ataukah ia memainkan sebuah melodi yang lain...


Kamu harus bertemu
Kamu harus buktikan
Mungkinkah yang kamu rasakan cinta?
Atau hanya kekaguman pada bayang-bayang yang mempesonamu?
Kamu harus bertemu...

Jumat, 17 Januari 2014

Di Atas Langit Masih Ada Langit



“With too much pride a man cannot learn a thing. 
In and of itself, learning teaches you how foolish you are.” 


Dalam banyak hal kalimat di atas ada benarnya.
Terlalu banyak kebangaan seseorang malah jatuh dalam kesombongan dan tidak belajar apa-apa dari banyak keberhasilan. Banyak kebanggaan, belajar bagaimana menjadi bijak dan mengerti serta mendapati diri mengerti sesuatu yang sebelumnya tidak dipahami sebenarnya hanya menyadarkan bahwa dulu kita pernah bodoh, pernah berada di bawah dan bahwa berada di enak saat ini karena pernah dulu berada di posisi tidak enak. Kita perlu sebuah perbandingan untuk menunjukkan perbedaan masa lampau dan masa kini.

Saya belajar hal ini hari ini. Beberapa murid saya di sekolah adalah murid yang 'luar biasa'. Mereka berbeda dari murid kebanyakan => nilai ulangan di bawah KKM, biang ribut dalam kelas, kandidat paling telat mengumpulkan tugas, dll. Seringkali terlalu lelah menghadapi mereka. Ya, tidak dapat dipungkiri, sebagai seorang guru, dalam banyak hal saya lebih melihat hasil daripada proses meskipun berulangkali saya mengatakan pada diri sendiri: "fokus pada bagaimana Tuhan perlengkapi mereka, lihat potensi yang mereka miliki, jangan menghakimi hanya berdasarkan kepandaian anak-anak yang lain" namun tetap dalam banyak hal saya melupakan hal ini. Otak saya lebih cepat menghakimi mereka dari pada melihat cara mereka bekerja, memproses sesuatu. Pada titik ini saya mengaku kalah.

Namun hari ini saya belajar sesuatu dari mereka. Mereka mengajarkan tentang berproses dan berusaha. Saya memberi mereka tugas membuat pembatas Alkitab dengan mencantumkan dua ayat yang saya beri. Mereka memang terlambat mengumpulkan sebab seharusnya tugas itu mereka kumpulkan kemarin siang. Tadi pagi sudah sempat dongkol "ahhh nama-nama ini lagi yang selalu telat!!" 

Saya masuk ke kelas dan meminta pertanggungjawaban mereka untuk mengumpulkan tugas yang dimaksud dan mereka mengumpulkannya. Hasil kreasi mereka memang bukan yang terbaik namun disana terlihat kesungguhan, mungkin kerja keras, keseriusan dan usaha menghasilkan pembatas Alkitab semampu mereka. They try their best. Saya termenung lama ketika melihat kreasi-kreasi itu sementara mereka mengerjakan soal-soal ulangan harian. Saya harus menghargai proses mereka membuat tugas ini. Saya harus menghargai usaha mereka memenuhi tuntutan saya. Saya harus mengapresiasi nilai bonus di atas standar hasil mereka untuk alasan proses yang mereka lalui. Saya tersentuh karena biasanya mereka mengumpulkan tugas molor beberapa hari dari batas akhir hingga membuat saya marah namun hari ini mereka hanya terlambat satu hari. Saya tersentuh meskipun saya tahu mereka tidak mampu memenuhi standar yang saya tentukan dan menyeimbangi hasil kerja teman-teman lain namun mereka berusaha dan usaha itulah yang saya hargai. Mereka menyadarkan saya satu hal bahwa yang paling penting dari sebuah perjalanan bukan akhirnya tapi perjalanan itu sendiri. Apalah arti garis finish sebuah perjalanan kalau perjalanan itu sendiri tidak dinikmati. 

Pengalaman ini mengingatkanku pada sms seorang teman ketika ia mengatakan bahwa tulisannya akan dipublikasikan di salah satu jurnal teologi, saya mengapresiasi dia dengan berkata: “Wooww kerennya, B jd kagum dg U, patut diperhitungkan.” (Wow… kerennya, aku jadi kagum padamu, patut diperhitungkan). Namun dia menanggapinya berbeda. Dia membalas pesan singkatku dengan berkata:

“Is, b jadi kepikiran dengan u pung perkataan ‘b jd kagum dg u dan patut diperhitungkan’. B sadar pada tahap ini bahwa kekaguman b n bagaimana b memperhitungkan seseorang justru bukan dilihat dari kemampuannya menulis di mana-mana atau berkhotbah yang bagus, dll. Tapi justru pada semangat dan kerja keras seseorang yang tulus untuk mencapai sesuatu. Mau dia gagal atau berhasil b tetap kagum.
Karena pada tahap ini b lihat ada banyak orang yang terlalu banyak menulis di mana-mana pun pada akhirnya jatuh pada kesombongan. Padahal kalo mau diukur dengan apa yang b dapat sekarang b bisa bilang kalo apa yang dong tulis tuh sonde bagus. Tapi pada saat b mengukur justru b on lihat dong pu perjuangan dan bagaimana b sampe di tahap sekarang. Di atas langit masih ada langit. Sadar juga bahwa banyak teolog yang tulisannya b baca hasil dari pelagiat beberapa tulisan karena baca banyak buku.
Bahwa tulisan yang bagus tuh perjuangannya berat. Harus kuasai teori itu pun teori yang paling dasar.
Belajar dengan banyak orang hebat memang membuat katong jadi orang hebat tapi perasaan hebat itu dimulai dari perasaan bahwa katong ini kerdil dan b melatih diri untuk tidak pernah melupakan tuh perasaan.”

SMS yang sangat panjang dan penuh kebenaran. Saya protes pada awalnya karena saya beranggapan saya sedang mengapresiasi kerja keras dan perjuangannya. Saya tahu bagaimana ia berjuang dari awal untuk sampai pada posisi ini. Dan perjuangan itulah yang saya apresiasi. Lalu kami akhirnya sampai pada kesepakatan yang sama.

Kejadian hari ini tentang murid-murid itu mengingatkanku pada sms ini. Seseorang tidak pernah sampai ke puncak kalau tidak pernah merasakan berada di bawah. Dan berada di puncak selalu mengingatkan kita bahwa kita dulunya pernah ada di bawah. Terlalu banyak melihat ke atas bisa membuat seseorang sombong dan juga merasa kurang, sering melihat ke bawah membuat seseorang sadar bahwa ia dulu merangkak dari sana juga dan bahwa sekarang ia ada di posisi yang jauh lebih baik. Dan yang paling penting dari hal ini adalah bahwa jika seseorang tidak pernah merangkak naik ia tidak mungkin sampai di atas. Apresiasi kita seringkali terlalu banyak hanya pada hasil akhir bukan pada proses merangkak itu. Entah seseorang gagal atau berhasil yang paling utama adalah bahwa ia sudah bekerja keras merangkak. Dan ini hal utama yang harus selalu diingat. Murid-muridku mengajarkan hal ini dengan lebih baik. Melihat kerja keras dan usaha mereka bukan pada hasil. Ada usaha dan kerja keras di balik angka 60, 70 dan 100…
Mereka menginspirasi….



Temanggung, January 17, 2014

Minggu, 05 Januari 2014

#Chapter1 Kisah Dua Air Mata

Air mata duka dan air mata sukacita
Sebuah pernikahan yang seperti salib
Sebuah persekutuan kasih yang bercitarasa sorga, 

        Sepuluh tahun setelah menikah, tangis air mata seperti apakah yang akan kamu alami? Apakah air mata luka yang memedihkan atau air mata hangat yang dibangkitkan oleh sukacita? Faktanya, setiap pernikahan mengalami keduanya. Saya menulis buku ini karena saya ingin anda mengalami tangis air mata sukacita pada ulang tahun pernikahan kesepuluh anda. Saya ingin anda mampu berkata, dengan tulus hati, “setelah keputusan untuk menjadi seorang kristen, menikahi ___________________ adalah keputusan terbaik yang pernah saya buat.”

       Kalimat-kalimat di atas adalah sepenggal kalimat dari bab pertama buku ini. Penulis sangat ingin agar setiap pembaca pada akhirnya menemukan air mata sukacita pada HUT pernikahannya yang ke-10 karena keputusan terbaik yang pernah dibuatnya 10 tahun lalu dan bukan air mata penyesalan karena menikahi orang yang salah. Karena itu, yang paling penting adalah alasan mengapa kamu menikah jauh lebih utama dari pada dengan siapa kamu menikah. Bukan berarti dengan siapa kamu menikah adalah persoalan yang tidak penting. Ini juga sangat penting namun jika kamu tidak tahu mengapa kamu harus menikah, kamu tidak dapat menentukan orang yang seperti apakah yang mau kamu ajak ke pernikahan. 
Jadi, mengapa kamu mau menikah?

         Pertanyaan ini membuat saya merenung berhari-hari, mengapa saya mau menikah? Dan saya terkejut, saya baru menyadari pentingnya pertanyaan ini. Selama ini saya tidak pernah berpikir tentang mengapa saya menikah. Lahir, sekolah, kuliah, kerja kemudian menikah dan mendidik anak, dan siklus berulang. Semua orang melewati siklus yang sama. Semua orang menikah berarti saya juga menikah. Orang-orang pengen punya keluarga dan keturunan, saya juga. Orang tua mengharpkan cucu, orang tua saya juga. Hanya sebatas ini alasan saya selama ini. Mengapa saya menikah? Ya, karena semua orang melakukan itu. Tetapi ternyata jawabannya tidaklah sesimple itu.  Mengapa saya menikah? Mengapa kamu menikah? 

       Gary Thomas bilang, kalau kamu membuat keputusan investasi keuangan yang buruk, kamu selalu bisa memulai dari awal lagi. Tetapi pernikahan alkitabiah adalah perkara sekali seumur hidup. Sekali kamu menikah, maka setiap sore, setiap akhir minggu, setiap liburan, dan setiap pagi akan ditentukan, entah baik atau buruk, oleh hubungan pernikahan itu. Orang yang kamu nikahi adalah orang terakhir yang akan kamu lihat setiap malam sebelum tidur dan wajahnya adalah wajah pertama yang kamu lihat saat bangun tidur di pagi hari. Banyak pasangan yang menyesali apa yang mereka putuskan di masa muda karena tergesa-gesa lalu mumutuskan bahwa bercerai adalah satu-satunya cara yang akan membebaskan dari kesalahan tersebut. Namun, ini kenyataannya, banyak orang terburu-buru dalam prosesnya atau membuat keputusan karena alasan yang payah dan sekarang bertengkar karena akibat-akibat keputusan payah itu setiap hari dalam hidup mereka. 

Kasih yang Memberi hidup

      Sisi “mengapa” dari sebuah pernikahan adalah hal yang paling penting untuk memantapkan seseorang membuat pilihan bijak mengenai sisi “siapa” yang akan dinikahi. Sebuah rumah harus dibangun di atas dasar Mat 6:33: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” adalah sebuah rumah yang kokoh. Ayat ini mengandung perintah tetapi juga mengandung janji luar biasa bagi hidup penuh kelimpahan dan makna. Ketika suami istri berkomitmen pada Kristus, bertumbuh bersama Tuhan, saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan rohani, membesarkan anak-anak  dalam takut akan Tuhan, saling mengasihi satu sama lain karena mengasihi Tuhan maka sukacita akan berlimpah dan mujizat terjadi. Orang-orang egois berubah menjadi sekumpulan pelayan, anak-anak yang egois bertumbuh menjadi pekerja-pekerja kerajaan Allah, orang asing menjadi kawan karib. Memang ada banyak kesalahan, banyak pertobatan, berkali-kali frustrasi, rasa sakit, bahkan keraguan, tapi pada akhirnya hadirat Allah menang, orang-orang diubahkan, pekerjaan kerajaan Allah diselesaikan dan ujian berhasil dilewati. Jika dua orang berdiri bersama di sekeliling misi -- ‘jika mereka membuat pilihan pernikahan berdasarkan pada pribadi terbaik dengan siapa mereka bisa mewujudkan misi ini’ – kemungkinan terbesar, mereka akan mengalami pernikahan yang memenuhkan dan membangun jiwa.

        Sebuah pernikahan yang manis adalah jarak yang paling dekat dari dua orang dengan sorga, sebuah pernikahan yang buruk adalah jarak paling dekat dari dua orang dengan neraka. Tidak ada seorang manusia pun yang sanggup membuat  tetap terpikat hingga lima atau enam decade berikutnya. Kalau mereka benar-benar lucu dan benar-benar menarik, lalu kita bisa saja terpikat selama beberapa tahun, namun orang-orang egois, orang tampan dan cantik egois, orang terkenal yang egois pada akhirnya bosan satu sama lain, hubungan yang dulu pernah memberi rasa aman dan hidup akan terasa seperti penjara dan kematian jika dua orang yang menikah tidak berbagi misi yang sama. Harus ada satu yang mampu mempertahankan hubungan ini tetap terikat satu sama lain. 

  Sebuah pernikahan rohani yang kaya adalah jawaban dari persoalan ini. Ada sebuah hadiah yang menankjubkan dari pernikahan yang rohani: pernikahan yang hidup, semangat, keintiman, memori sepanjang usia bersama pasangan sebagai sobat terdekat, dan sukacita melimpah dalam membangun sebuah keluarga bersama-sama. Persahabatan yang dihasilkan dari mengahadapi semua musim kehidupan bersama-sama, berdoa bersama, merawat anak-anak bersama, melayani Tuhan bersama, bersenang-senang, bercinta, pusing dan patah hati, mengatasi kemunduran dan belajar menangani kekecewaan, serta bertumbuh bersama melalui semuanya itu mampu menciptakan ikatan yang tak bisa ditandingi oleh daya tarik seksual atau kertegila-gilaan romantis awal manapun juga. 

  Sekarang, tanyakanlah pada dirimu sendiri: “sepuluh tahun dari sekarang, air mata macam apa yang ingin saya alami? Air mata sukacita atau air mata kepedihan? Apakah saya ingin berada dalam sebuah pernikahan yang mengangkat saya atau yang menarik saya turun? Sebuah persekutuan yang ditandai kemitraan bersama atau pernikahan dimana kita bersembunyi dan terbiasa saling menyakiti satu sama lain?” 

Selamat bersemediiii para lajang  ^___________^


January 06, 2014




The Sacred Search

      Sudah lama punya kerinduan untuk mengulas buku ini => The Sacred Search (bagaimana jika pertanyaannya, bukan tentang siapa yang akan anda nikahi tetapi mengapa anda menikah?). Ditulis oleh Gary Thomas yang adalah penulis best seller dari Sacred Marriage. Aku menyukai buku ini, gagasan-gagasan di dalamnya yang realistis dan jujur, blak-blakan kadang-kadang dalam mengungkapkan sesuatu dan yang pasti buku ini sangat direkomendasikan bagi kamu muda yang sedang dan akan berpacaran dan yang sedang mempertimbangkan seseorang untuk dinikahi. Bacalah terlebih dahulu buku ini sebelum kamu menikah. Buku ini tidak lantas membuat hidup pernikahanmu berjalan mulus kelak namun dengan bantuan buku ini kamu dapat mengetahui alasan-alasan mengapa kamu harus menikah, setelah mengetahui alasan-alasannya kamu dapat memilih dengan siapa kamu akan menikah (seseorang dengan karakter bagaimanakah yang hendak kamu nikahi).

       Mungkin bagi beberapa orang, membaca buku terkesan ‘lebay’, sok rohani, atau apalah tanggapan orang lain, mungkin hanya membuang-buang waktu, toh akhirnya pernikahan ada di tangan mereka yang menikah, dan keutuhan pernikahan & rumah tangga dibangun oleh mereka yang menikah. Ia memang benar. Tapi sejauh membaca buku ini, aku tidak menemukan alasan untuk berhenti merekomendasikan buku ini pada teman-teman mudaku. Aku mau mereka juga belajar mengenai pernikahan yang kudus dan bagaimana mempersiapkan pernihakan tersebut melalui buku ini karena aku menemukan begitu banyak alasan dan hal-hal krusial yang harus dipelajari dan dimiliki oleh seorang pribadi yang berencana menikahi seseorang. Membaca buku ini tidak akan membuat kamu merasa ‘lebay’, sok rohani, atau hal yang lainnya, tapi justru akan menambah referensimu dalam melayani Tuhan, memilih pasangan hidup. Aku bahkan berencana jika suatu saat aku menjadi pendeta, buku ini adalah buku wajib bagi pasangan yang akan menikah di gerejaku dan sedang mengikuti kelas katekisasiku. Buku ini juga sangat direkomendasikan bagi mereka yang terlibat dalam pelayanan anak muda, pelayan di gereja dan dosen-dosen di kampus dan siapa saja yang peduli pada para lajang.

        Oke, aku akan menulis dan menuangkan buah pikiran penulisnya, Gary Thomas dalam buku ini. Aku mulai menulis dari bab 1 hingga nanti berakhir di bab 19 dan bonus bab 20. Bagi kamu yang belum sempat membeli buku ini, kamu dapat mengikutinya dari tulisan-tulisan ini. Aku mulai dengan bab 1 tentang ‘kisah dua air mata’.

Jumat, 03 Januari 2014

Bukuuuuuuu

Haiiiiiiiiiiiiii….. Lama banget gak nulis karena memang sangat sibuk akhir-akhir ini. Namun di sela-sela kesibukan bulan lalu aku sempat mengunjungi dua toko buku besar di Jogja. Satu kebiasaan kalo sudah ada di took buku adalah berjam-jam berdiri di depan rak buku berlabel rohani atau teologi, ingin rasanya membeli semua buku yang ada disana. Aku selalu hobi membeli buku. Sewaktu kuliah, aku lebih memilih menyisihkan uang saku untuk membeli buku daripada membeli baju, tas, sepatu, dll. Padahal setiap semester mama dan papa sudah pasti memberikan uang khusus untuk membeli buku. Aku sulit menahan diri ketika berada di took buku, uangku pasti habis disana, dan selelu ada rasa puas di hati setelah membawa pulang begitu banyak buku. Meskipun belum semua buku yang kubeli habis kubaca, tapi senang aja rasanya di rak buku tersedia buku-buku yang banyak. Jika sekali waktu aku butuh referensi aku bisa dengan mudah mencari dan memperoleh info yang kubutuhkan dari buku-buku yang ada di ruang buku. 

Sama halnya ketika kemaren berkunjung ke took buku di Jogja. Begitu saja ratusan ribu melayang untuk beberapa buah buku. Aku selalu berpikir pendek ketika melihat buku yang menurutku menarik. Jika membeli baju, sepatu atau tas yang mahal aku selalu merasa sayang pada uangku tapi beda halnya dengan membeli buku, aku tidak pernah merasa sayang paling hanya rasa menyesal karena gak bisa manage uang, perasaan ini pun hanya bertahan sebentar. Setelah pulang dari Jogja aku baru sadar ternyata cuma aku yang gak belanja baju, sepatu atau tas, sementara teman-teman lain memborong baju dan tas. Aku membeli 5 buku dengan alasannya masing-masing. Berikut ini urutan waktu aku mengambil buku-buku ini dari rak beserta alasan yang membuatku memutuskan untuk membeli.

1.      The Kidney Story

Buku ini pertama-tama menarik karena judulnya, lalu sinopsisnya dan penulisnya yang menurutku masih sangat muda, bahkan dua tahun lebih muda dariku. Maklum aku sedang dalam fase-fase mengagumi orang-orang yang suka nulis. Buku ini bercerita tentang pengalaman pribadi penulis dan perjuangannya melawan penyakit gagal ginjal yang dialaminya. Ada satu pernyataan dalam synopsis yang membuatku memutuskan membeli buku ini. “Jangan menyerah pada impian anda karena Tuhan belum dan tidak akan menyerah atas anda. Bangkitlah dan nyatakanlah impian Tuhan dalam diri anda.” Merasa ada sesuatu dengan pernyataan ini aku lalu membeli buku ini. Hanya butuh waktu 1 jam di parkiran (ketika menunggu teman-teman lain selesai berbelanja) untuk membaca semua isi buku ini. Walapun sangat jauh dari tulisan berkualitas buku ini memberi pelajaran penting bagaimana bermimpi dan meraih mimpi bersama Allah. 

2.      The Sacred Search

Membaca kalimat di sampul depannya membuat tanganku tanpa ragu mengambil buku ini. Kalimat itu adalah “pencarian pasangan hidup yang kudus” sesuai judulnya. Satu kalimat di bawahnya yang juga menggelitik dan membuat penasaran membaca bukunya “bagaimana jika pertanyaannya, bukan tentang siapa yang akan anda nikahi, tetapi mengapa anda menikah?” Ternyata setelah dibuka sampulnya, buku ini sangat bagus, berkualitas dan realistis. Jauh lebih bagus dari beberapa buku serupa yang pernah kubaca. Sedang berencana membuat reviewnya di blog untuk membantu teman-teman pemuda/i yang belum menikah dalam memilih pasangan hidup dan mempertimbangkan matang-matang seseorang yang ingin dinikahi. Buku ini sangat direkomendasikan. Jadi, jika teman-teman sekali waktu ke toko buku dan bertemu buku ini jangan ragu untuk membelinya apalagi bagi kamu yang belum menikah. Bacalah buku ini sebelum menikah :)

3.      Menikmati panggilan di ladangnya

Buku ini kubeli karena judul dan sinopsisnya yang menarik. Ada sebuah kalimat yang menarik di sampul buku ini. “Pendeta, sebuah kata yang indah. Setiap kali orang memanggilku pendeta, aku merasa tersanjung… Tidak ada panggilan hidup yang lebih tinggi dibandingkan menjadi seorang pendeta”. Aku sengaja membeli buku ini karena aku sedang berjuang dan bergumul menemukan kembali semangat mula-mulaku ketika masuk sekolah teologi. Dalam perjalanan  menjadi mahasiswi teologi aku sadar semangat ini sedikit demi sedikit hilang hingga aku tiba di titik dimana aku tidak siap turun ke jemaat dan menjadi pendeta, aku butuh sesuatu yang membantuku kembali ke jalanku yang seharusnya dan aku rasa buku ini dapat menolongku, lalu kuputuskan untuk membeli buku ini. Benar saja, buku ini banyak membantu, sedikit demi sedikit menumbuhkan kembali kasih mula-mulaku dan membangkitkan kerinduan untuk menekuni panggilan di ladangnya. Pengalaman hidup kedua penulisnya yang diuraikan dengan penuh kejujuran membuatku menarik sebuah kesimpulan ‘betapa indahnya hidup melayani Tuhan’. 

4.      100 kisah yang menyetuh kalbu

Buku ini aku beli karena penulisnya, Xavier Quentin Pranata. Sebelumnya aku pernah beli bukunya “Life is Beautiful” yang bagus menurutku tapi ternyata buku yang baru kubeli ini hanyalah kumpulan cerita-cerita singkat yang sangat jauh dari ekspektasiku sebelumnya. Sudah terlanjur dibeli, mudah-mudahan suatu saat buku berguna untuk ilustrasi khotbah atau lain-lain. 




5.      7 langkah menuju gereja yang berkemenangan


Aku membeli buku ini karena ada kalimat “meneladani gaya hidup jemaat mula-mula”. Aku berpikir buku ini bisa jadi referensi untuk buku pelajaran yang sedang kutulis ternyata malah sangat jauh dari harapanku setelah membaca isinya. Isinya tak lain dari kritik apparatus yang sering kulakukan waktu mengambil mata kuliah Perjanjian Baru 2 waktu berkuliah dulu. Ya, kadang-kadang beberapa sampul buku tak sebagus isinya. Sudah terlanjur membeli, tidak masalah, baik untuk pajangan koleksi rak buku saja. Itulah sebabnya dalam memilih buku kita perlu melihat penulis, penerbit, judul dan isi bukunya (jika kebetulan sudah ada buku yang dibuka sampulnya). Apalagi jika bukunya belum pernah direkomendasikan oleh seseorang.