Minggu, 13 April 2014

Banyak cara yang Ia punya

Seminggu yang lalu aku sakit. Typusku kambuh. Tapi meski kesakitan, aku bersyukur bisa sakit, berhenti sejenak dari kesibukan, menikmati hari libur di saat yang lainnya bekerja, boleh tidur sepanjang hari, berhenti memikirkan pekerjaan dan banyak tugas lainnya yang berteriak-teriak minta dikerjakan, memaklumi diri sendiri dan yang paling penting memiliki waktu bersama Tuhan dan diri sendiri. 

Minggu sebelumnya, teman baikku di kota Hati Beriman juga sakit, lewat bbm aku bilang ke dia kira-kira begini: "waktu sakit itu waktu istirahat, tandanya kalau tubuh kita memang ada batas kuatnya, meski harus terpaksa istirahat di saat ada begitu banyak tugas menanti, namun waktu sakit adalah waktu yang baik untuk merefleksikan semua kebaikan Tuhan yang mungkin jarang kita lakukan ketika sehat." Lalu beberapa hari kemudian aku jatuh sakit. Reaksiku? Kalimat di atas terngiang-ngiang di telingaku. Tidak ada sikap lain selain bersyukur bisa sakit meskipun sulit karena aku kesakitan (suhu badan mencapai 40 derajat, sakit kepala, susah tidur, dan badan lemas). 

Sebenarnya ada hal yang jauh lebih menarik dari sakitku kali ini. Sakit ini adalah salah satu konsekuensi dari sikapku yang menyerah terhadap keadaan. Meski tidak selalu begitu, tapi sakit fisik seringkali dipicu karena sakit mental. Aku mengalami tekanan luar biasa yang sulit kuatasi di dunia kerja (sekolah), entah karena tidak cocok dengan sistemnya, lingkungannya atau memang karena passionku bukan disitu, aku tidak selalu nyaman berada di sana. 2 minggu lalu adalah puncak di atas segalanya. Aku bosan, muak, dan merasa tak punya semangat menjalani 2,5 bulan ke depan. Aku merasa di depanku ada palang berat berwarna hitam yang membuat segalanya rumit dan berat. Aku ingin secepatnya mengundurkan diri dan pulang ke rumah (dalam arti yang sebenarnya), namun aku tidak dapat melakukannya. Aku orang yang tidak bisa begitu saja menyerah pada komitmenku. Di satu sisi aku ingin sekali menyerah, di sisi yang lain aku tidak dapat menyerah begitu saja. Lalu aku berpaling mencari pertolongan pada Tuhan. Merana, kecewa, tetapi tetap berharap juga. Hari-hari kujalani tanpa semangat, lalu badanku mulai lemas karena kehilangan tenaga dan semangat (penyebab semua ini masih karena perjuanganku untuk menyerah dan bertahan). Lalu saat mentalku benar-benar sakit dan fisikku tidak mampu bertahan karena semangatku merosot, penyakit dengan gampangnya menyerang tubuhku. Alih-alih menyesal, aku justru bersyukur, Tuhan menjawab doaku, memberiku waktu istirahat yang cukup. Meski sakit sama sekali tidak mahal, tapi aku bersyukur bisa sakit. Aku memang drop tenaga, semangat, dan kekuatan tetapi justru ini cara Tuhan memulihkanku. 

Perhatian dari keluarga ibu di rumah, jemaat, pendeta, dan anak-anak murid menjadi suntikan semangat tersendiri. Anak-anak murid datang dengan membawa puding buatan mereka yang membutuhka perjuangan. Mereka bilang: "miss kita capek banget, tapi kog yo senang??" Mereka tidak tahu, itu rahasia dan kekuatan cinta. Segala sesuatu yang dilakukan dengan cinta hasilnya selalu berbeda. Capek tapi bahagia. 

Aku istirahat total selama 5 hari. Aku bersyukur di hari terakhir aku sempat melakukan refleksi. Merefleksikan dan merenungkan semua kebaikan Tuhan. Cara Tuhan memulihkan semangat dan tenagaku, melembutkan hatiku. Aku tersanjung dengan cara Tuhan menungguku mengambil keputusan untuk melayaniNya, Dia dapat saja memaksaku namun kasih tidak pernah memaksa, betul? Dia melakukan cara paling lembut: Ia menunggu dengan sabar. Dan ini membuatku tersanjung. Bagiku, ini adalah sebuah pertobatan. Berbalik dari kepentingan diri, mimpi dan obsesi pribadi menuju impian dan kepentingan Tuhan. 

Banyak cara Tuhan memulihkan, salah satu dengan sakit.
Sekarang aku telah menjadi kuat kembali, aku sehat baik fisik dan mental
Luar biasa cara Dia memulihkan...






Temanggung, 14 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar