Senin, 12 Agustus 2013

EKLESIOLOGI GKI SALATIGA

Tulisan ini merupakan tugas kuliah dari mata kuliah Eklesiologi. Waktu itu, saya berkesempatan menulis tentang eklesiologi GKI Salatiga. Sayang banget kalo tulisan ini hanya menuhin laptop saya, siapa tahu mungkin ada yang memerlukan informasi semacam ini. Semoga bermanfaat ^_^

            Eklesilogi berasal dari bahasa Yunani κκλησια, yang berarti gereja; dan λογος, yang berarti perkataan, firman, atau ilmu sehingga eklesiologi merupakan salah satu sub-disiplin ilmu teologi yang membahas mengenai hakikat dan fungsi gereja, berkaitan dengan identitas dan misi gereja di dalam dunia. Dalam ranah gerejawi, eklesiologi adalah rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja tentang dirinya.
      Setelah melakukan survey terhadap beberapa gereja, maka saya dan beberapa teman memutuskan untuk mengangkat GKI Salatiga sebagai gereja yang akan kami tulis untuk memenuhi tugas eklesiologi. Cikal bakal GKI Salatiga sendiri berdiri pada awal tahun 1900 dengan jumlah anggota kurang lebih 25 orang Tionghoa yang mengadakan kebaktian di rumah pekabar injil Jasper yang berlokasi di Jln. Kota Praja (sekarang: Jln Sukowati). Selain itu, ada juga pekabar injil Kamp yang melayani orang-orang dari suku Jawa di Jln. Beringin (sekarang: Jln. Patimura).
Setelah pekabar injil Jasper dan Kamp meninggal dunia, maka kedua kelompok itu bergabung dibawah pimpinan pekabar injil Van Deer Veen pada tahun 1928. Pada tahun 1930 Van Deer Veen pindah ke Ungaran sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bersyukur. Kemudian ia digantikan oleh pekabar injil H. Bax yang melanjutkan pelayanan ketiga pekabar injil terdahulu.
Pada waktu itu jumlah pengunjung kebaktian minggu bertambah kurang lebih 60 orang, sampai pada tahun 1932 berhasil membangun sebuah gedung Gereja yang sampai saat ini digunakan sebagai gedung Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU).
Pada tahun 1938 H. Bax meninggal dunia, dan digantikan oleh Liem Siok Hie yang dibantu oleh saudaranya Liem Yiok Sien(salah seorang onggota Jemaat dari Salatiga). Mengenai Liem Yiok Sien, ia pernah bekerja di perusahaan Belanda di Semarang. Ia seorang yang rajin membaca Alkitab yang kemudian oleh pimpinannya ia diminta untuk bekerja dan digaji penuh untuk tugas pekabaran injil. Pada tahun 1920 ia menjadi Penatua dan pengajar di Semarang dalam bahasa Melayu. Tahun 1932 mulai membuka sebuah suatu perguruan PI sendiri khusus untuk golongan Tionghoa yang berpusat di rumahnya (Jl. Plampitan, Semarang). Sementara kebaktian Minggu diadakan di Gereja Melakim Semarang. Ia kemudian ditabiskan menjadi Pendeta pada tahun 1935.
Mengenai H. Bax pada tahun 1938 kembali ke Jerman. Dan kurang lebih 2 tahun tidak ada penggantinya karena pra perang dunia kedua. Dua tahun kemudian (1940) menyusul Tjoa Tjin Taow (Basilea Maruta) yang melayani selaku guru injil, karena ada kekosongan pelayan. Dan pada tahun 1941 pindah di Salatiga.
Selanjutnya hadir guru injil Tan Ik Hay (Iskak Gunawan) yang sebelumnya melayani di Yogyakarta. Ia ditahbiskan menjadi pendeta jemaat yang pertama pada tanggal 20 Januari 1943. Pada waktu itu Jemaat berkembang cukup pesat. Jemaat ini bernama Tionghoa Kietok Kauw Hwee yang sekarang menjadi Gereja Kristen Indonesia Salatiga, yang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman 111. Jumlah anggota jemaat menjelang pindahnya beliau ke GKI Ngumpasan Yogyakarta adalah kurang lebih 400 orang.
Pada tanggal 3 Maret 1959 Pdt. Tan Ik Hay pindah ke GKI Ngumpasan Yogyakarta dan digantikan oleh Pdt. Go Eng Tjoe (Paulus Sudirgo), yang semula melayani di GKI Purwokerto. Pada masa pendeta inilah gereja berhasil membeli sebidang tanah untuk dibangun gedung GKI Salatiga dan Yayasan Pendidikan Ebenhaezer.
            Menurut data wawancara yang kami peroleh[1], gedung ibadah pertama dibangun dengan apa adanya, hanya berbentuk sebuah rumah biasa yang sangat sederhana. Alat musik yang digunakan pun berasal dari sumbangan jemaat, yakni piano dari Pak Hadinugroho (narasumber dalam wawancara mengenai GKI Salatiga). Setelah beberapa tahun kemudian[2], gedung gereja GKI Salatiga yang lama diganti genjadi gedung gereja yang besar yang memuat cukup banyak jemaat sebab sejak ditahbiskannnya Pendeta Tan Ik Hay jumlah jemaat semakin banyak. Arsitek bangunan gereja yang baru ini bernama Kung Fu Hoe. Menurut pak Hadi, desain gedung GKI Salatiga tidak mengikuti desain gereja lain sehingga murni merupakan ciri khas GKI Salatiga sendiri. Desain gedung gereja ini dibuat oleh arsitek dan dirapatkan dalam rapat majelis jemaat untuk diputuskan desain gereja seperti apa yang diinginkan dan pendeta pada saat itu sangat berperan penting dalam memutuskan hal-hal mana yang perlu bagi bangunan gereja tersebut.
            Bangunan gereja yang besar ini menganut pemahaman bahwa ‘sempitlah jalan menuju kepada kehidupan dan lebarlah jalan menuju kebinasaan’ sehingga dalam landasan teologi ini mereka membangun pintu gereja dengan ukuran yang kecil tetapi dalam perkembangannya pintu gereja diperbesar untuk keefektifan sebab jemaat semakin bertambah. Pintu utama ini juga didesain sedemikian rupa dengan tembok pemisah yang menghalangi pemandangan dari pintu utama menuju mimbar sehingga menimbulkan kesan bahwa ada pemisahan antara dunia luar dan Rumah Tuhan. Hal ini dimaksudkan agar ketika jemaat memasuki Rumah Tuhan jemaat melupakan hal-hal duniawi dan menyadari benar bahwa ia kini sedang berada di rumah Tuhan.
            Pada saat gereja direnovasi untuk pertama kalinya pada zaman Pdt. Iman Santoso. Menurut informasi, hal-hal yang direnovasi pada renovasi pertama ini adalah jendela, teras dan konsistori. Jemdela-jendela yang semula berbentuk segi empat kecil dengan bahan dasar papan kemudian diganti dengan jendela persegi panjang yang menyerupai jendela-jendela gereja di Eropa dan hal ini memberi kesan mistis, sejuk dan teduh sebab jendela-jendela tersebut dipasang sangat tinggi.
            Selain kesan mistis, sejuk dan teduh dari jendela, pencahayaan juga memainkan peranan penting. Salah satu ornamen GKI Salatiga adalah ke-12 rumpun lampu yang digantung tepat di tengah gereja yang menunjuk kepada 12 murid Tuhan Yesus yang masing-masing rumpun itu terdiri dari 3 bola lampu yang mengimplementasikan kehadiran Allah Tritunggal. Lalu penataan lampu-lampu lainnya yang dibuat sedemikian rupa sehingga bola lampu tidak menonjol keluar melainkan masuk ke dalam plafon sehingga gedung gereja diterangi hanya oleh pembiasan cahaya dari lampu-lampu tersebut. Pencahayaan dan penataan jendela seperti inilah yang mendukung munculnya suasana mistis, sejuk dan teduh dalam gedung ibadah GKI Salatiga sehingga setiap orang yang masuk di dalamnya akan merasa akrab seperti di dalam sebuah keluarga besar.
            Penataan tempat duduk juga memiliki peranan penting, yakni semua tempat duduk diatur mengahadap ke mimbar. Hal ini menimbulkan kesan bahwa semua yang hadir dalam gereja tersebut memiliki tujuan yang sama yakni ke depan, memuji dan memuliakan Tuhan. Kesan seperti inilah yang saya peroleh ketika pertama kali masuk dan mengikuti peribadatan di GKI Salatiga pada tahun 2008. Kesan yang saya rasakan ini sangat berbeda dengan kesan yang saya dapatkan ketika bergereja di GKJ Salatiga sebab tempat duduk tidak ditata seperti di GKI Salatiga.
            Ornamen lain yang nampak adalah salib besar, mimbar, dan Alkitab besar. Salib yang berada tepat di belakang mimbar menandakan Yesus yang tersalib sebagai Kepala Gereja. Mimbar yang berada di tengah bagian depan dan lebih tinggi dari tempat duduk jemaat bukan sekedar agar pengkhotbah dapat dilihat oleh jemaat tetapi menandakan mimbar sebagai pusat pengajaran. Alkitab besar di depan mimbar dahulu digunakan oleh setiap pengkhotbah ketika membacakan Firman Allah tetapi seiring perkembangan Alkitab tersebut hanya diletakkan di depan mimbar dengan posisi terbuka sedangkan setiap pengkhotbah membawa Alkitab masing-masing.
            Berdasarkan pemaparan di atas dapatlah dikatakan bahwa pembangunan gedung ibadah terutama gereja protestan di Indonesia khususnya GKI Salatiga tidak lagi berdasarkan teologi dan misi gereja tetapi lebih pada kepentingan gereja itu dalam hal ini menyangkut kenyamanan, ketenangan, keteduhan jemaat dalam beribadah meskipun di sisi lain juga terdapat unsur mistisnya. Renovasi-renovasi yang dilakukan lebih berdasar pada kepentingan keefektifan beribadah. Hal ini terlihat dari bangunan GKI Salatiga sendiri yang adalah murni hasil desain seorang arsitek tanpa mencontoh gereja lain. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan yang membentuk GKI Salatiga saat ini telah menjadi ciri khas GKI Salatiga yang sebenarnya menggambarkan suasana dan keadaan jemaat GKI Salatiga itu sendiri, kekeluargaan yang akrab.


 REFERENSI

[1] Hasil wawancara terhadap bapak Hadinugroho, beliau merupakan jemaat yang sudah sangat lama bergereja di GKI Salatiga sejak zaman Pdt. Tan Ik Hay sehingga beliaulah yang mengetahui secara pasti dinamika perkembangan GKI Salatiga baik jemaat maupun gedung gerejanya. Akan tetapi, sangat disayangkan kami tidak mendapat data yang lengkap sebab pak Hadi sudah sangat tua
[2] Tahun yang tepat tidak kami dapatkan sebab narasumber sudah sangat tua sehingga lupa kapan tepatnya gedung gereja bangun ulang menjadi gedung gereja yang besar. Sedangkan sumber-sumber lain yang kami temui mengaku tidak mengetahui sebab mereka pun pendatang baru. Koster, (bapak Kristianto)  yang juga sudah bekerja selama 10 tahun mengatakan bahwa sejak ia masih sekolah minggu gedung gerejanya sudah seperti sekarang bangunan yang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar