Tulisan ini merupakan
tugas kuliah dari mata kuliah Eklesiologi. Waktu itu, saya berkesempatan menulis
tentang eklesiologi GKI Salatiga. Sayang banget kalo tulisan ini hanya menuhin laptop
saya, siapa tahu mungkin ada yang memerlukan informasi semacam ini. Semoga bermanfaat ^_^
Eklesilogi berasal dari bahasa
Yunani ἐκκλησια, yang berarti gereja; dan λογος, yang berarti perkataan, firman, atau ilmu
sehingga eklesiologi merupakan salah satu sub-disiplin ilmu teologi yang membahas mengenai hakikat dan fungsi gereja, berkaitan
dengan identitas dan misi gereja di dalam dunia. Dalam ranah gerejawi,
eklesiologi adalah rumusan teologis-sistematis mengenai pemahaman gereja
tentang dirinya.
Setelah melakukan
survey terhadap beberapa gereja, maka saya dan beberapa teman memutuskan untuk
mengangkat GKI Salatiga sebagai gereja yang akan kami tulis untuk memenuhi
tugas eklesiologi. Cikal bakal GKI Salatiga sendiri berdiri pada awal tahun 1900
dengan jumlah anggota kurang lebih 25 orang Tionghoa yang mengadakan kebaktian
di rumah pekabar injil Jasper yang berlokasi di Jln. Kota Praja (sekarang: Jln
Sukowati). Selain itu, ada juga pekabar injil Kamp yang melayani orang-orang
dari suku Jawa di Jln. Beringin (sekarang: Jln. Patimura).
Setelah pekabar injil Jasper dan Kamp meninggal dunia, maka
kedua kelompok itu bergabung dibawah pimpinan pekabar injil Van Deer Veen pada tahun 1928. Pada tahun 1930
Van Deer Veen pindah ke Ungaran sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia
Bersyukur. Kemudian ia digantikan oleh pekabar injil H. Bax yang melanjutkan
pelayanan ketiga pekabar injil terdahulu.
Pada waktu itu jumlah pengunjung kebaktian minggu bertambah
kurang lebih 60 orang, sampai pada tahun 1932 berhasil membangun sebuah gedung
Gereja yang sampai saat ini digunakan sebagai gedung Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara (GKJTU).
Pada tahun 1938 H. Bax meninggal dunia, dan digantikan oleh
Liem Siok Hie yang dibantu oleh saudaranya Liem Yiok Sien(salah seorang onggota
Jemaat dari Salatiga). Mengenai Liem Yiok Sien, ia pernah bekerja di perusahaan
Belanda di Semarang. Ia seorang yang rajin membaca Alkitab yang kemudian oleh
pimpinannya ia diminta untuk bekerja dan digaji penuh untuk tugas pekabaran
injil. Pada tahun 1920 ia menjadi Penatua dan pengajar di Semarang dalam bahasa
Melayu. Tahun 1932 mulai membuka sebuah suatu perguruan PI sendiri khusus untuk
golongan Tionghoa yang berpusat di rumahnya (Jl. Plampitan, Semarang).
Sementara kebaktian Minggu diadakan di Gereja Melakim Semarang. Ia kemudian ditabiskan
menjadi Pendeta pada tahun 1935.
Mengenai H. Bax pada tahun 1938 kembali ke Jerman. Dan
kurang lebih 2 tahun tidak ada penggantinya karena pra perang dunia kedua. Dua
tahun kemudian (1940) menyusul Tjoa Tjin Taow (Basilea Maruta) yang melayani selaku
guru injil, karena ada kekosongan pelayan. Dan pada tahun 1941 pindah di
Salatiga.
Selanjutnya hadir guru injil Tan Ik Hay (Iskak Gunawan) yang
sebelumnya melayani di Yogyakarta. Ia ditahbiskan menjadi pendeta jemaat yang
pertama pada tanggal 20 Januari 1943. Pada waktu itu Jemaat berkembang cukup
pesat. Jemaat ini bernama Tionghoa Kietok Kauw Hwee yang sekarang
menjadi Gereja Kristen Indonesia Salatiga, yang berlokasi di Jalan Jendral
Sudirman 111. Jumlah anggota jemaat menjelang pindahnya beliau ke GKI Ngumpasan
Yogyakarta adalah kurang lebih 400 orang.
Pada tanggal 3 Maret 1959 Pdt. Tan Ik
Hay pindah ke GKI Ngumpasan Yogyakarta dan digantikan oleh Pdt. Go Eng Tjoe
(Paulus Sudirgo), yang semula melayani di GKI Purwokerto. Pada masa pendeta inilah gereja berhasil membeli sebidang
tanah untuk dibangun gedung GKI Salatiga dan Yayasan Pendidikan Ebenhaezer.
Menurut
data wawancara yang kami peroleh[1],
gedung ibadah pertama dibangun dengan apa adanya, hanya berbentuk sebuah rumah
biasa yang sangat sederhana. Alat musik yang digunakan pun berasal dari
sumbangan jemaat, yakni piano dari Pak Hadinugroho (narasumber dalam wawancara
mengenai GKI Salatiga). Setelah beberapa tahun kemudian[2],
gedung gereja GKI Salatiga yang lama diganti genjadi gedung gereja yang besar
yang memuat cukup banyak jemaat sebab sejak ditahbiskannnya Pendeta Tan Ik Hay
jumlah jemaat semakin banyak. Arsitek bangunan gereja yang baru ini bernama
Kung Fu Hoe. Menurut pak Hadi, desain gedung GKI Salatiga tidak mengikuti
desain gereja lain sehingga murni merupakan ciri khas GKI Salatiga sendiri.
Desain gedung gereja ini dibuat oleh arsitek dan dirapatkan dalam rapat majelis
jemaat untuk diputuskan desain gereja seperti apa yang diinginkan dan pendeta
pada saat itu sangat berperan penting dalam memutuskan hal-hal mana yang perlu
bagi bangunan gereja tersebut.
Bangunan gereja yang besar ini menganut
pemahaman bahwa ‘sempitlah jalan menuju kepada kehidupan dan lebarlah jalan
menuju kebinasaan’ sehingga dalam landasan teologi ini mereka membangun pintu
gereja dengan ukuran yang kecil tetapi dalam perkembangannya pintu gereja
diperbesar untuk keefektifan sebab jemaat semakin bertambah. Pintu utama ini
juga didesain sedemikian rupa dengan tembok pemisah yang menghalangi
pemandangan dari pintu utama menuju mimbar sehingga menimbulkan kesan bahwa ada
pemisahan antara dunia luar dan Rumah Tuhan. Hal ini dimaksudkan agar ketika
jemaat memasuki Rumah Tuhan jemaat melupakan hal-hal duniawi dan menyadari
benar bahwa ia kini sedang berada di rumah Tuhan.
Pada saat gereja direnovasi untuk
pertama kalinya pada zaman Pdt. Iman Santoso. Menurut informasi, hal-hal yang
direnovasi pada renovasi pertama ini adalah jendela, teras dan konsistori.
Jemdela-jendela yang semula berbentuk segi empat kecil dengan bahan dasar papan
kemudian diganti dengan jendela persegi panjang yang menyerupai jendela-jendela
gereja di Eropa dan hal ini memberi kesan mistis, sejuk dan teduh sebab
jendela-jendela tersebut dipasang sangat tinggi.
Selain kesan mistis, sejuk dan teduh
dari jendela, pencahayaan juga memainkan peranan penting. Salah satu ornamen
GKI Salatiga adalah ke-12 rumpun lampu yang digantung tepat di tengah gereja
yang menunjuk kepada 12 murid Tuhan Yesus yang masing-masing rumpun itu terdiri
dari 3 bola lampu yang mengimplementasikan kehadiran Allah Tritunggal. Lalu
penataan lampu-lampu lainnya yang dibuat sedemikian rupa sehingga bola lampu
tidak menonjol keluar melainkan masuk ke dalam plafon sehingga gedung gereja
diterangi hanya oleh pembiasan cahaya dari lampu-lampu tersebut. Pencahayaan
dan penataan jendela seperti inilah yang mendukung munculnya suasana mistis,
sejuk dan teduh dalam gedung ibadah GKI Salatiga sehingga setiap orang yang
masuk di dalamnya akan merasa akrab seperti di dalam sebuah keluarga besar.
Penataan tempat duduk juga memiliki
peranan penting, yakni semua tempat duduk diatur mengahadap ke mimbar. Hal ini
menimbulkan kesan bahwa semua yang hadir dalam gereja tersebut memiliki tujuan
yang sama yakni ke depan, memuji dan memuliakan Tuhan. Kesan seperti inilah
yang saya peroleh ketika pertama kali masuk dan mengikuti peribadatan di GKI
Salatiga pada tahun 2008. Kesan yang saya rasakan ini sangat berbeda dengan
kesan yang saya dapatkan ketika bergereja di GKJ Salatiga sebab tempat duduk
tidak ditata seperti di GKI Salatiga.
Ornamen
lain yang nampak adalah salib besar, mimbar, dan Alkitab besar. Salib yang
berada tepat di belakang mimbar menandakan Yesus yang tersalib sebagai Kepala
Gereja. Mimbar yang berada di tengah bagian depan dan lebih tinggi dari tempat
duduk jemaat bukan sekedar agar pengkhotbah dapat dilihat oleh jemaat tetapi
menandakan mimbar sebagai pusat pengajaran. Alkitab besar di depan mimbar
dahulu digunakan oleh setiap pengkhotbah ketika membacakan Firman Allah tetapi
seiring perkembangan Alkitab tersebut hanya diletakkan di depan mimbar dengan
posisi terbuka sedangkan setiap pengkhotbah membawa Alkitab masing-masing.
Berdasarkan pemaparan di atas
dapatlah dikatakan bahwa pembangunan gedung ibadah terutama gereja protestan di
Indonesia khususnya GKI Salatiga tidak lagi berdasarkan teologi dan misi gereja
tetapi lebih pada kepentingan gereja itu dalam hal ini menyangkut kenyamanan,
ketenangan, keteduhan jemaat dalam beribadah meskipun di sisi lain juga
terdapat unsur mistisnya. Renovasi-renovasi yang dilakukan lebih berdasar pada
kepentingan keefektifan beribadah. Hal ini terlihat dari bangunan GKI Salatiga
sendiri yang adalah murni hasil desain seorang arsitek tanpa mencontoh gereja
lain. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan yang membentuk GKI Salatiga
saat ini telah menjadi ciri khas GKI Salatiga yang sebenarnya menggambarkan
suasana dan keadaan jemaat GKI Salatiga itu sendiri, kekeluargaan yang akrab.
REFERENSI
[1]
Hasil wawancara terhadap
bapak Hadinugroho, beliau merupakan jemaat yang sudah sangat lama bergereja di
GKI Salatiga sejak zaman Pdt. Tan Ik Hay sehingga beliaulah yang mengetahui
secara pasti dinamika perkembangan GKI Salatiga baik jemaat maupun gedung
gerejanya. Akan tetapi, sangat disayangkan kami tidak mendapat data yang
lengkap sebab pak Hadi sudah sangat tua
[2] Tahun yang tepat tidak kami
dapatkan sebab narasumber sudah sangat tua sehingga lupa kapan tepatnya gedung
gereja bangun ulang menjadi gedung gereja yang besar. Sedangkan sumber-sumber
lain yang kami temui mengaku tidak mengetahui sebab mereka pun pendatang baru.
Koster, (bapak Kristianto) yang juga
sudah bekerja selama 10 tahun mengatakan bahwa sejak ia masih sekolah minggu
gedung gerejanya sudah seperti sekarang bangunan yang sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar