Tulisan ini merupakan tugas akhir mata kuliah Kristologi,
hehehh masih merupakan mata kuliah yang diampuh dosen favorit saya sekaligus
yang nantinya menjadi dosen pembimbing skripsi saya. Tulisan ini ditulisan
sekitar awal Desember 2010. Menyenangkan memang bisa menulis sesuatu tentang
kampong halamanku ^_^. Semoga bermanfaat
“Yesus bagi Orang Kristen
dan Orang Marapu”
1. Pendahuluan
Makalah ini
akan menjelaskan pandangan orang Sumba terhadap Yesus khususnya Yesus dalam balutan
budaya Sumba bagi orang Kristen Sumba dan pemahaman masyarakat berkepercayaan
Marapu (orang Marapu) terhadap Yesus. Pemahaman akan siapa Yesus menurut
beberapa pandangan kristologi akan menjadi dasar pemikiran untuk memahami Yesus
dalam kaitannya dengan pemahaman orang Sumba terhadap Yesus yang memungkinkan
sebuah model pemahaman baru versi orang Sumba. Pada bagian akhir dari makalah
ini akan diberikan kesimpulan Yesus dalam pandangan orang Sumba baik orang
Kristen maupun orang Marapu.
2. Batang Tubuh
Berdasarkan
hasil wawancara saya dengan ayah saya sendiri, ada 2 poin penting yang akan
dikemukakan, pertama, Yesus dalam
pandangan orang berkepercayaan Marapu adalah pribadi yang tidak jauh berbeda
dengan Marapu. Mereka mengakui kekuasaan Yesus tetapi lebih percaya kepada
Marapu, karena Marapu juga sanggup memberikan berkat kepada mereka. Tujuan
penyembahan adalah kepada Ilah Tertinggi (Allah) dimana Marapu dan Yesus
sebagai perantara kepada Ilah Tertinggi (Allah) tersebut sehingga yang
terpenting bukan perantara tetapi tujuan kepercayaan tersebut. Kedua, Yesus dalam pandangan orang
Kristen Sumba adalah Tuhan yang kaya akan budaya dan jauh lebih besar dari
Marapu. Ia dapat menyesuaikan diri dengan konteks suatu masyarakat tertentu,
hidup dalam kebudayaan Sumba dan menjadi Tuhan milik semua budaya. Tidak lagi
sebagai Yesus orang Yahudi dan Yesus orang Barat yang diperkenalkan Injil
ketika pertama kali datang ke Sumba melainkan sebagai Yesus orang Sumba, milik
orang Sumba dalam balutan budaya dan adat Sumba.
Yesus adalah seorang Yahudi yang hidup dalam tradisi Yahudi
dan besar dengan tradisi ini. Ia belajar agama Yahudi sejak kecil, menguasai
ilmu agama Yahudi dengan baik dan memulai pelayanannya ketika dewasa. Ia turut
ambil bagian dalam kegiatan religiusYahudi. Ia pakar dalam hal keagamaan
dan memulai pelayanannya di padang gurun
seperti dilakukan oleh nabi-nabi pada umumnya.
Pengajaran-pengajaran
yang disampaikan Yesus melalui ucapan dan perbuatan. Apa yang Ia sampaikan Ia
dipraktekkan dengan perbuatan sehingga hal ini membedakan Yesus dari nabi-nabi
yang lain. Ia memanggil sendiri murid-muridNya dan memperlengkapi mereka dengan
kecakapan dan kuasa untuk memberitakan kabar baik. Yesus melayani semua orang
tanpa melihat status social dan tradisi Yahudi yang amat keras terhadap
orang-orang yang memiliki penyakit tertentu. Yesus melakukan tindakan
pembebasan terhadap aturan-aturan agama yang mengikat dan menindas. Yang
terakhir Yesus melakukan mujizat dan kemampuan Yesus melakukan mujizat ini
menurut Borg adalah karena Yesus merupakan manusia Roh lintas budaya yang
datang pada komunitas manusia pada saat ini.[1]
Pelayanan
yang dilakukan Yesus selalu memihak pada orang-orang yang termarginalkan dalam
masyarakat, berpihak pada orang-orang yang tidak dianggap dalam masyarakat,
yang dikucilkan, dan orang-orang kecil.[2]
Yesus melayani keluar dari batas-batas tradisi yang ada. Tradisi tidak dapat
dibenarkan apabila menghalangi orang untuk berbuat kebaikan bagi orang lain.
Setelah
disalibkan, bangkit dan naik ke Surga, komunitas Kristen perdana menghayati
karya pelayanan Yesus dan memberikan gelar-gelar kepada Yesus. Gelar-gelar
tersebut adalah nabi, Tuhan, Mesias, Anak Allah[3].
Dalam penghayatan ini gelar-gelar yang diberikan ini kemudian menjadi nama diri
Yesus. Gelar-gelar ini sejak zaman komunitas Kristen perdana menjadi dasar
berpijak kristologi bagi para pengikut Yesus maupun orang yang tertarik
mengenalNya lebih dalam. Penghayatan komunitas perdana memiliki peran yang amat
besar dalam menentukan dasar pijakan kristologi sebab sebagian besar data-data
yang dibutuhkan untuk kepentingan kristologi ini terekam dalam penghayatan iman
komunitas Kristen perdana.
Gelar
Yesus sebagai Tuhan dan Anak Allahlah yang paling nyata dirasakan oleh orang
Kristen masa kini dalam membangun sebuah kristologi. Gelar Tuhan yang diberikan
kepada Yesus berdasarkan keempat injil mengacu pada kepentingan penulis
masing-masing Injil. Matius dan Markus menyebut Yesus Tuhan karena Yesus mampu
mengadakan mujizat-mujizat. Lukas menyebutNya Tuhan terkait dengan peranNya
sebagai guru dan pemuka agama. Secara umum gelar Tuhan mengaitkan Yesus dengan
dua perang ganda sebagai seorang Hasid (orang
suci) kharismatis dan guru (orang bijak).[4]
Akan tetapi dalam bahasa aram kata untuk Tuhan adalah mare yang digunakan baik untuk Tuhan maupun untuk manusia.[5]
Bagaiamanapun kata Tuhan dipahami oleh orang-orang sezaman Yesus dan jemaat
perdana pada awal perkembangan kekristenan, pemakaian gelar Tuhan untuk Yesus
saat ini mengalami perbedaan makna. Yesus adalah Tuhan atas seluruh bumi, yang
memiliki kuasa atas alam semesta.
Gelar
Anak Allah yang diberikan kepada Yesus menurut Harvey menunjukkan bahwa Yesus
sepenuhnya bergantung kepada dan satu dengan Bapa, menurut Borg gelar Anak
Allah dipakai dalam tiga konteks dalam masyarakat Yahudi yang menggambarkan
suatu hubungan dengan Allah yang istimewa akrab, yaitu dalam hubungan Israel
sebagai umat pilihan, raja sebagai manusia yang diangkat menjadi anak Allah dan
tokoh berkharisma sebagai orang yang mengenal dan dikenal oleh Allah.[6]
Konteks gelar yang terakhir cocok jika dihubungkan dengan sebutan Yesus sebagai
orang suci kharismatis.
Tentunya
orang awam memahami Yesus sebagai Anak Allah tidak dalam kerangka
pemahaman seperti ini. Orang awam lebih
cenderung memahami Yesus sebagai Anak Allah dalam pemahaman Yoh 1:14, bahwa
Yesus berasal dari Allah. Yang jika ditelusuri lebih lanjut pemahaman ini akan
menghantar pada sebuah pemahaman lagi bahwa Yesus sejajar dengan Allah.
Gelar-gelar
ini paling banyak mendapat perdebatan. Akan tetapi dua gelar inilah yang paling
berakar kuat dalam tradisi kekristenan dan menjadi hal utama yang ditawarkan
kekristenan ketika diperkenalkan kepada bangsa lain yang sampai saat ini masih
menjadi pokok sentral dalam kekristenan. Hal yang sama juga terjadi di Sumba
ketika kekristenan ditawarkan kepada orang Sumba. Pada makalah ini gelar Yesus
sebagai Tuhan akan lebih mendapat perhatian.
Gagasan akan gelar Yesus sebagai
Tuhan dan Anak Allahlah yang membuat masyarakat Sumba bersedia menerima Yesus
dan kekristenan. Yesus yang diperkenalkan adalah pribadi yang memiliki tidak
saja kuasa yang melebihi Marapu yang selama ini dikenal oleh orang Sumba tetapi
juga pribadi yang dapat menjadi sosok lain seperti sahabat, Bapa, kekasih, dan
pribadi yang sangat dekat dengan mereka yang mengenalNya. Dalam konsep
pemahaman yang seperti inilah Yesus menjadi lebih mudah diterima oleh orang
Sumba.
Yesus
yang dalam keberadaanNya sebagai Tuhan dan Anak Allah telah membawa sebuah
pemahaman baru bagi orang Sumba mengenai Allah yang mau menjangkau dan
memperkenalkan diriNya bagi orang-orang lain di luar Yahudi. Oleh sebab itu,
Yesus yang telah hadir dalam konteks masyarakat Sumba ini dimaknai orang Sumba
sebagai Yesus milik orang Sumba. Dan sebagai milik Ia dikenakan atribut-atribut
orang Sumba yang menandakan bahwa Ia milik orang Sumba. Atribut-atribut ini
nyata dalam ikon-ikon yang ada dalam masyarakat Sumba sebagai gambaran Yesus
yang menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat Sumba. Ikon-ikon ini terlihat
dalam patung Yesus di depan Gereja Katholik Sang Penebus Waingapu yang
menggunakan pakaian adat Sumba (kalabo),
kain-kain tenun Sumba dengan motif gambar Yesus. Penggambaran Yesus dalam
ikon-ikon ini tidak bermaksud mengurangi ciri khas Yesus sebagai seorang Yahudi
tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa Yesus telah menjadi milik orang Sumba dan
dipahami dalam konteks dan budaya masyarakat Sumba. Masyarakat Sumba yang
dimaksud di sini adalah mereka yang telah percaya kepada Yesus dan menjadi
Kristen.
Dalam kerangka pemahaman seperti ini
maka apa yang kita temukan dalam masyarakat Sumba bersesuaian dengan definisi
kristologi yang mengalami revisi dari penelitian tentang siapa Yesus Kristus
dengan cara meneliti ajaran-ajaran Perjanjian Baru secara sistimatis (Gutrie) menjadi
usaha memahami Yesus Kristus menurut pengalaman komunitas Kristen awal sampai
pada masa kini dalam pelbagai budaya serta serta dalam perjumpaannya dengan
konteks aktual kekinian dalam keragaman perspektif teologis, budaya dan agama
tempat komunitas Kristen berada dengan memanfaatkan kontribusi ilmu-ilmu yang
relevan.[7]
Dari definisi di atas jelaslah bahwa
pemahaman tentang Yesus tidak berhenti hanya pada komunitas awal kekristenan
tetapi masih merupakan isu yang relevan sampai saat ini. Perjumpaan Yesus
dengan masyarakat Sumba berikut pengalaman bersama Dia dalam perjumpaan dengan
budaya merupakan bagian dari usaha manusia dalam hal ini masyarakat Sumba
mengenal dam memahami Yesus.
Dalam usaha mengenal dan memahami
Yesus, latar belakang masyarakat sangat berpengaruh pada usaha ini. Latar
belakang masyarakat Sumba sangat berkaitan erat dengan kebudayaan yang
sekaligus menjadi kepercayaan masyarakat Sumba, yaitu kepercayaan terhadap
Marapu. Marapu dipercaya mempunyai kekuatan dan kuasa untuk mengabulkan
permohonan masyarakat apabila Marapu disembah dengan baik oleh masyarakat dan
akan menghukum jika tidak disembah. Konsep kepercayaan seperti ini sangat
mendasar kuat dalam diri masyarakat Sumba dan menjadi acuan pemahaman ketika
ada pengaruh baru yang masuk.
Pengenalan akan Yesus mengubah
konsep berpikir semacam ini. Yesus dalam keberadaanNya sebagai Tuhan dan Anak
Allah selalu tetap menjadi pribadi yang baik walaupun manusia tidak taat
kepadaNya. Dia pribadi yang dapat mengerti keadaan manusia karena Dia sendiri
menyesuaikan diri dengan keadaan manusia. Marapu tidak dapat berbuat demikian.
Karena Marapu hanyalah roh nenek moyang yang juga dianggap oleh manusia
memiliki kekuatan setelah meninggal dan dipercaya bahwa Marapu menjadi
perantara kepada Ilah Tertinggi tetapi tetap dalam pemahaman bahwa Marapu
memiliki kuasa karena diberikan oleh
manusia meskipun dengan begitu kita juga mengesampingkan bahwa Yesus pun
dibangun dengan kristologi oleh pemahaman dan penghayatan manusia terhadap
karya pelayananNya semasa hidup.
Sebagai hasil dari usaha memahami
dan mengenal Yesus lahirlah suatu gambaran tentang Yesus yang dapat disebut
Yesus kontekstual. Yesus dalam balutan budaya Sumba, Yesus yang dekat dengan
masyarakat Sumba. Tidak lagi sebagai orang Yahudi tetapi sebagai orang Sumba
yang hidup dalam konteks aktual masyarakat Sumba dan bersinggungan dengan
budaya Sumba.
Lebih jauh mengenai pemahaman di
atas maka jika Yesus dapat menyesuaikan diri dengan konteks masyarakat Sumba
tentulah Ia pun dapat masuk dan beradaptasi dengan budaya lain. Masyarakat lain
pun akan mengalami pengenalan dan pemahaman terhadap Yesus sehingga dengan
demikian Yesus menjadi Tuhan yang kaya akan budaya. Pemahaman ini memungkinkan
munculnya sebuah kristologi baru mengenai Yesus dari budaya Yahudi ke budaya
Sumba. Kristologi yang mendasarkan pemikiran tidak saja terhadap Yesus yang
adalah manusia tetapi juga sebagai Tuhan yang terhadapNya masyarakat Sumba
berusaha membangun pemahaman tentang makna kehadiran Yesus bagi mereka dalam
setiap pengalaman hidup dan bagaimana perjumpaan Yesus dengan budaya mereka.
Sebagai manusia Ia menyesuaikan diri dengan budaya Sumba dan memahami
masyarakat Sumba sebab Ia pernah menjadi manusia yang dibesarkan juga dalam
sebuah tradisi, yaitu tradisi Yahudi dan sebagai Tuhan Ia dapat hadir sebagai
Tuhan yang dapat dipahami oleh masyarakat Sumba sesuai dengan cara paham orang
Sumba dan lebih jauh dari pemahaman ini dengan mempertimbangkan bahwa ada
banyak budaya dan tradisi dalam konteks masyarakat lain di luar konteks
masyarakat Sumba maka tentulah Yesus adalah Tuhan yang kaya akan budaya. Ia
muncul dalam berbagai potret budaya masyarakat. Sebab bukankah kristologi yang
selama ini berkembang juga dibangun berdasarkan tradisi Yahudi dan tradisi
dimana Yesus berusaha dipahami dan dikenali? Jadi orang Sumba pun dapat
membangun sebuah kristologi yang berusaha memahami Yesus Kristus mulai dari
pengalaman komunitas awal sampai pengalaman dan perjumpaanNya dengan masyarakat
Sumba dan konteks masyarakatnya.
Berbeda halnya dengan masyarakat
Sumba berkepercayaan Marapu (selanjutnya disebut orang Marapu). Orang Marapu
tidak dapat membangun kristologi semacam itu. Mereka hanya melihat Yesus dari
jauh dan tidak berjumpa dengan Dia. Sebab itu mereka tidak memiliki pengalaman
bersama Dia. Akan tetapi dalam perjumpaan mereka dengan sesama masyarakat Sumba
yang telah menjadi Kristen, mereka pun dapat bertemu dengan Yesus. Perjumpaan
semacam ini membawa mereka pada sebuah pengakuan bahwa Yesus benar punya kuasa.
Benar bahwa Dia adalah Tuhan yang baik bagi orang Kristen dan yang dapat
melakukan apa saja sehingga berbeda dengan Marapu yang suka menghukum jika
tidak disembah dengan baik. Tetapi
pengakuan ini hanya sebatas pengakuan.
Orang Marapu lebih memilih mempercayai Marapu dari pada Yesus. Marapu
lebih dekat dengan budaya Sumba karena Marapu adalah roh orang Sumba sendiri.
Selain itu, alasan orang Marapu
tetap setia pada Marapu didasarkan pada konsep pemahaman bahwa tujuan
penyembahan dan tujuan akhir dari segala upaya orang Marapu dan orang Kristen
adalah satu dan sama, yaitu Ilah Tertinggi yang dalam Marapu disebut Anatala dan dalam Kristen disebut Allah.
Sifat dan pemakaian nama ini dalam tradisi Yahudi dan Sumba memiliki persamaan.
Anatala dipandang keramat sehingga
tidak dapat disebut sembarangan. Orang yang menyebutnya secara sembarangan akan
tertimpa malapetaka sebab nama ini memiliki kekuatan magis. Nama ini hanya
boleh disebut oleh imam Marapu dalam suatu ritus keagamaan yang disebut Upacara
Perjamuan Dewa (Pamangu Ndewa) yang
diadakan setiap delapan tahun dan disebutkan secara berbisik oleh Imam pada
tengah malam tanpa seorang pun boleh mendengarnya.[8]
Konsep pemahaman nama Anatala ini amat mirip dengan konsep pemahaman nama Allah
(YHWH) dalam tradisi Yahudi. Nama YHWH suci dan tidak boleh disebut
sembarangan. Hanya boleh disebut oleh seorang orang kudus (imam) pada hari yang
kudus (Hari Perdamaian) di tempat yang kudus, yakni Ruang Maha Kudus dalam Bait
Allah. Atas pemahaman ini maka paling tidak kita dapat katakan bahwa Ilah
tertinggi yang disembah oleh orang Marapu dan Orang Kristen adalah sama
(meskipun ketika orang Marapu mengatakan Ilah Tertinggi yang sama mereka tidak
sedang berada konsep pemahaman bahwa nama Ilah Tertinggi dalam Kristen adalalah
YHWH).
Pemahaman mengenai Allah yang satu
dan sama inilah yang mendasari kesetiaan orang Marapu terhadap Marapu. Tujuan
orang Kristen dan Marapu sama, yang membedakan hanyalah perantara untuk sampai
kepada Ilah Tertinggi. Perantara orang Marapu adalah Marapu sedangkan perantara
orang Kristen adalah Yesus Kristus (meskipun orang Kristen sendiri memahami
Yesus lebih dari sekedar perantara). Sehingga atas pemahaman seperti ini mereka
merasa tidak perlu lagi menjadi Kristen dan percaya pada Yesus. Yesus bagi
orang Kristen. Marapu bagi orang Marapu.
Yesus dalam pemahaman orang Marapu
sekalipun Dia diakui sebagai Tuhan orang Kristen dan memiliki kuasa yang besar
Yesus tetap hanyalah seorang perantara sama seperti Marapu. Yesus tidak
memiliki arti penting bagi orang Marapu. Bagi mereka, Dia bukanlah Tuhan yang
kaya akan budaya seperti yang dipahami dan diyakini oleh orang Kristen Sumba.
3.
Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai Yesus bagi
orang Kristen dan orang Marapu di atas maka kita dapat menarik kesimpulan
mengenai pemahaman orang Sumba terhadap Yesus. Bagi orang Kristen, Yesus adalah
Tuhan dan Anak Allah yang datang menjumpai masyarakat Sumba, memberi diri
dikenal dan dipahami oleh orang Sumba sesuai dengan pola pemahaman orang Sumba,
dijadikan milik orang Sumba dengan mengenakan atribut-atribut kebudayaan pada
Yesus. Berangkat dari pemahaman bahwa Yesus dapat masuk menjadi Yesus orang
Sumba dan bersinggungan dengan budaya maka orang Kristen Sumba berpendapat
bahwa di tempat lain dalam konteks budaya yang berbeda Yesus pun dapat menjadi
bagian dari koteks masyarakat tersebut sehingga Yesus yang dikenal dan dipahami
orang Sumba adalah Tuhan yang kaya akan budaya.
Bagi orang Marapu, Yesus hanya
sebatas Tuhan orang Kristen yang juga diakui kekuasaanNya tetapi tidak disembah
dan dipercayai. Marapulah yang menjadi sentral hidup mereka. Mengacu dari
pemahaman tujuan beragama adalah Ilah Tertinggi dengan perantara yang
berbeda-beda maka Yesus tidak memiliki arti bagi mereka. Yesus akan tetap
menjadi Tuhan orang Kristen yang juga mereka akui kekuasaanNya. Sehingga Yesus
bagi orang Marapu adalah Tuhannya orang Kristen sedangkan Yesus bagi orang
Kristen Sumba adalah Tuhan yang kaya budaya. Bagi orang Sumba Yesus adalah
Tuhan bagi orang Kristen.
[1] Marcus J Borg. Kali pertama jumpa Yesus Kembali : Yesus
sejarah dan hakikat iman Kristen masa kini. (Jakarta: Gunung Mulia, 2003)
42
[2] Markus J. Borg, ibid
[3] A. Roy Eskardt. Manggali Ulang Yesus Sejarah. (Jakarta:
Gunung Mulia, 2006) 25-32
[4] A Roy Eskardt. Ibid. 29
[5] Yusak B. Setiawan. Christology in Context. A draft
[6] A. Roy. Ibid. hal 35
[7]Yusak B. Setiawan. ibid
[8] F. D. Wellem. Injil dan Marapu.
(Jakarta : Gunung Mulia, 2004) 42-43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar