Senin, 12 Agustus 2013

EKSISTENSI GKI SALATIGA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN GEREJA SEBAGAI PERSEKUTUAN ORANG KUDUS MENURUT LUKAS



Tulisan ini merupakan makalah akhir mata kuliah Eklesiologi. Saya bergereja di GKI Salatiga jadi lebih mudah menulis tentang gereja ini. Hehehe tulisan ini belum sempurna, ditulis sekitar awal Agustus 2011. Semoga bermanfaat ^_^

1.     PENDAHULUAN

            Makalah ini akan menjelaskan eksistensi Gereja Kristen Indonesia Salatiga dalam hubungannya dengan pemahaman Lukas mengenai gereja sebagai persekutuan orang kuduus. Pemahaman gereja sebagai orang kudus menurut Lukas dalam injilnya dan dalam Kisah Para Rasul serta tambahan beberapa pemahaman mengenai hal yang sama akan menjadi dasar pemikiran untuk menjelaskan bagaimana GKI khususnya GKI Salatiga memandang keberadaannya sebagai persekutuan orang kudus dalam dunia. Titik tolak pemahaman GKI Salatiga adalah Tata Gereja GKI. Pada bagian akhir dari makalah ini akan diberikan kesimpulan eksistensi GKI Salatiga dalam hubungannya dengan gereja sebagai persekutuan orang kudus menurut Lukas.

2.     BATANG TUBUH

            Ada baiknya jika bagian ini diawali dengan defenisi gereja dan eklesiologi sebagai pengantar. Kata gereja berasal dari kata Portugis igreya yang berasal dari terjemahan kata Yunani kyriake yang berarti menjadi milik Tuhan.  Selain itu, ada kata lain yang dipakai dalam Alkitab (PB) untuk menggambarkan sebuah perkumpulan orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul adalah ekklesia. Kata ekklesia sendiri merupakan terjemahan dari kata kahal Yahwe dalam PL yang berarti umat Allah yang kudus yang dipilih dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan TUHAN. Dengan demikian gereja adalah persekutuan orang-orang beriman yang dipanggil dan dikumpulkan oleh Tuhan. Menurut Avery Dulles, gereja adalah suatu persekutuan atau persekutuan karena rahmat Kristus.   Gereja juga didefinisikan sebagai tempat bersekutu meskipun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan orangnya, tetapi seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat bersekutu. Yang jelas dimana ada orang bersekutu didalam Kristus disitulah gereja berada.
            Kata eklesiologi berasal dari bahasa Yunani κκλησια, yang berarti gereja; dan λογος, yang berarti perkataan, firman, atau ilmu sehingga eklesiologi merupakan salah satu sub-disiplin ilmu teologi yang membahas mengenai hakikat dan fungsi gereja, berkaitan dengan identitas dan misi gereja di dalam dunia. Eklesiologi juga didefinisikan sebagai usaha untuk memahami gereja secara teologis (ilmu tentang gereja). Karena teologi dalam bentuk awal juga dihasilkan oleh gereja yang kemudian merekonstruksi pemahaman tentang gereja itu sendiri maka eklesiologi pun dapat dikatakan sebagai ilmu oleh dan tentang gereja. Selain itu, eklesiologi juga dapat didefinisikan sebagai ilmu bangunan dan dekorasi gereja.
            Gereja lahir pertama kali di Yerusalem dalam bentuk jemaat-jemaat kecil, yakni orang-orang yang percaya kepada Yesus. Dalam perkembangannya, gereja dipahami berbeda-beda oleh penulis kitab PB sehingga terdapat banyak konsep gereja yang dibangun dan dapat kita lihat dalam surat-surat dan injil-injil PB. Masing-masing penulis membentuk konsep tentang gereja berdasarkan pemahaman dan pengalaman dimana jemaat tersebut itu berada serta dipengaruhi oleh budaya dimana gereja tersebut berkembang.
            Konsep gereja menurut Lukas akan menjadi pokok utama pembahasan dalam makalah ini. Konsep gereja menurut Lukas terekam dalam injilnya dan dalam Kisah Para Rasul. Dalam Kisah Para Rasul terdapat informasi mengenai gereja perdana yang menyebut dirinya dengan tiga sebutan menjadi ciri khas gereja menurut Lukas, yakni orang kudus, jemaat Allah, dan pengikut Jalan Tuhan. Orang kudus berarti jemaat adalah orang dikuduskan di dalam Kristus, jemaat mengalami perubahan radikal dari hidup yang lama kepada hidup yang baru, yang telah dikuduskan. Jemaat Allah adalah sebutan yang diadopsi dari PL (qehal YHWH). Pengikut Jalan Tuhan berarti mereka yang mengikuti Kristus. Dalam penyebutan diri seperti ini gereja mempunyai ciri eksodus : lewat salib dan kematian sampai kepada hidup. Dalam perjalanan pembebasan ini gereja mesti siap menerima pencobaan dalam pengharapan untuk memperoleh kemuliaan. Karena itu, gereja dipanggil untuk berjalan bersama Kristus, menyesuaikan diri dengan kehendak Bapa (Luk 9:57-62; 18:31-34; 19:28; 22:28)
            Eklesia menurut Lukas adalah jemaat Allah yang ide eklesianya diambil dari PL (qehal YHWH) dan merujuk pada pemahaman baru, yakni umat Allah Perjanjian Baru yang tidak terbatas pada umat Allah Perjanjian Lama. Konteks gereja perdana pada masa itu diwarnai dengan tugas perutusan berkaitan dengan misi pekabarannya yang sampai ke ujung bumi.
Gereja perdana memaknai qehal YHWH dengan cara baru :
§             Peran penyelamatan Yesus Kristus (Kis 10)
§             Universalitas keselamatan
§             Relasi antara Kerajaan Allah dan eklesia
§             Kesatuan dengan Yesus
§             Berbeda dengan Qumran, tidak memisahkan diri dari masyarakat walaupun menyebut diri orang kudus.[1]
Pemaknaan diri gereja sebagai orang kudus akan menjadi focus utama makalah ini. Berulang kali dalam  Kisah Para Rasul ditemukan penyebutan diri orang kudus untuk perkumpulan orang-orang percaya. Kata ‘kudus’ sendiri berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Karena gereja terdiri dari orang-orang kudus maka dapatlah gereja dikatakan sebagai persekutuan/perkumpulan orang kudus. Kata yang diterjemahkan dengan ‘persekutuan orang kudus’ adalah communion sanctorum. Kata sanctorum berarti barang-barang yang kudus (sakramen) atau dari kata sanctus yaitu orang-orang kudus. Persekutuan orang kudus tidak berarti bahwa orang-orang di dalamnya terdiri dari orang yang sempurna. Kata persekutuan harus dipandang sama dengan kata koinonia dalam Alkitab sehingga persekutuan orang kudus harus ditafsirkan sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Jadi gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna melainkan masih terdiri dari orang-orang yang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai suatu tugas panggilan yang harus terus diperjuangkan. Jadi, gereja sebagai orang kudus bukanlah orang-orang yang tidak berdosa tetapi orang yang dikuduskan Allah dalam Kristus oleh Roh Kudus dan yang tetap memperjuangkan kekudusan itu.[2]

Gereja dalam Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Gereja dalam keberadaannya di Indonesia membentuk dirinya sesuai dengan kebudayaan masyarakat dimana gereja tersebut berkembang. Ketika sampai di Indonesia, gereja ini selalu mengambil bentuknya sendiri. Jemaat dari setiap gereja yang dibentuk adalah masyarakat Indonesia yang ketika bergabung dalam sebuah persekutuan identitas asli dari masing-masing anggota ikut serta dibawa. Demikian pula hal yang terjadi dengan GKI Salatiga. berikut akan dijelaskan sejarah singkat GKI Salatiga untuk memudahkan memahami gereja dalam konteks Indonesia dalam hal ini GKI Salatiga.

Sejarah GKI Salatiga
Cikal bakal GKI Salatiga sendiri berdiri pada awal tahun 1900 dengan jumlah anggota kurang lebih 25 orang Tionghoa yang mengadakan kebaktian di rumah pekabar injil Jasper yang berlokasi di Jln. Kota Praja (sekarang: Jln Sukowati). Selain itu, ada juga pekabar injil Kamp yang melayani orang-orang dari suku Jawa di Jln. Beringin (sekarang: Jln. Patimura).
Setelah pekabar injil Jasper dan Kamp meninggal dunia, maka kedua kelompok itu bergabung dibawah pimpinan pekabar injil Van Deer Veen pada tahun 1928. Pada tahun 1930 Van Deer Veen pindah ke Ungaran sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia Bersyukur. Kemudian ia digantikan oleh pekabar injil H. Bax yang melanjutkan pelayanan ketiga pekabar injil terdahulu.
Pada waktu itu jumlah pengunjung kebaktian minggu bertambah kurang lebih 60 orang, sampai pada tahun 1932 berhasil membangun sebuah gedung Gereja yang sampai saat ini digunakan sebagai gedung Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU).
Pada tahun 1938 H. Bax meninggal dunia, dan digantikan oleh Liem Siok Hie yang dibantu oleh saudaranya Liem Yiok Sien(salah seorang onggota Jemaat dari Salatiga). Mengenai Liem Yiok Sien, ia pernah bekerja di perusahaan Belanda di Semarang. Ia seorang yang rajin membaca Alkitab yang kemudian oleh pimpinannya ia diminta untuk bekerja dan digaji penuh untuk tugas pekabaran injil. Pada tahun 1920 ia menjadi Penatua dan pengajar di Semarang dalam bahasa Melayu. Tahun 1932 mulai membuka sebuah suatu perguruan PI sendiri khusus untuk golongan Tionghoa yang berpusat di rumahnya (Jl. Plampitan, Semarang). Sementara kebaktian Minggu diadakan di Gereja Melakim Semarang. Ia kemudian ditabiskan menjadi Pendeta pada tahun 1935.
Mengenai H. Bax pada tahun 1938 kembali ke Jerman. Dan kurang lebih 2 tahun tidak ada penggantinya karena pra perang dunia kedua. Dua tahun kemudian (1940) menyusul Tjoa Tjin Taow (Basilea Maruta) yang melayani selaku guru injil, karena ada kekosongan pelayan. Dan pada tahun 1941 pindah di Salatiga.
Selanjutnya hadir guru injil Tan Ik Hay (Iskak Gunawan) yang sebelumnya melayani di Yogyakarta. Ia ditahbiskan menjadi pendeta jemaat yang pertama pada tanggal 20 Januari 1943. Pada waktu itu Jemaat berkembang cukup pesat. Jemaat ini bernama Tionghoa Kietok Kauw Hwee yang sekarang menjadi Gereja Kristen Indonesia Salatiga, yang berlokasi di Jalan Jendral Sudirman 111. Jumlah anggota jemaat menjelang pindahnya beliau ke GKI Ngumpasan Yogyakarta adalah kurang lebih 400 orang.
Pada tanggal 3 Maret 1959 Pdt. Tan Ik Hay pindah ke GKI Ngumpasan Yogyakarta dan digantikan oleh Pdt. Go Eng Tjoe (Paulus Sudirgo), yang semula melayani di GKI Purwokerto. Pada masa pendeta inilah gereja berhasil membeli sebidang tanah untuk dibangun gedung GKI Salatiga dan Yayasan Pendidikan Ebenhaezer.
            Untuk memahami dasar teologi Gereja Kristen Indonesia maka di bawa ini akan diapaparkan Mukadimah GKI :
1.        Oleh bimbingan dan pertolongan Roh Kudus, Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang merupakan kelanjutan dan wujud kesatuan dari Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Kristen Indonesia Jawa Timur dan Kristen Indonesia Jawa Tengah dalam menggumuli Firman Allah yang disaksikan oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di tengah-tengah dunia dalam konteks Indonesia pada masa kini dengan ini menyatakan pokok-pokok pemahaman dan pengakuan imannya mengenai gereja yang universal dan dirinya sendiri secara partikular sebagai berikut :
2.        Secara universal, gereja bersumber pada Allah yang menyelamatkan melalui karya-Nya di dalam dan sepanjang sejarah. Karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya pada Tuhan Yesus Kristus dilakukan secara menyeluruh dan meliputi segala sesuatu menuju pemenuhan Kerajaan Allah. Dalam rangka penyelamatan itu, melalui perjanjianNya Allah menghimpun umat pilihanNya yang dimulai dari umat Israel dan dilanjutkan dengan umat Allah yang baru dalam Tuhan Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus, yaitu gereja. Sebagai umat baru, gereja itu esa. Keesaan gereja itu adalah keesaan dalam kepelbagaian. Dengan demikian gereja adalah persekutuan yang esa dari orang-orang beriman kepada Yesus Kristus - Tuhan dan Juruslamat dunia - yang dengan kuasa Roh Kudus dipanggil dan diutus Allah untuk berperan serta dalam mengerjakan misi Allah.
3.        Dalam rangka berperan serta mengerjakan misi Allah, gereja melaksanakan misinya. Misi gereja itu dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja dalam konteks masyarakat, bangsa dan Negara dimana gereja ditempatkan.
4.        Misi gereja dilaksanakan oleh gereja, baik dengan mewujudkan persekutuan dengan Allah dan dengan sesama secara terus menerus berdasarkan kasih, maupun dalam bentuk kesaksian dan pelayanan.
5.        Dalam rangka melaksanakan misi gereja, anggota gereja berperan secara hakiki sesuai dengan panggilan Allah dan karunia Roh Kudus. Sehubungan dengan itu, anggota gereja yang dipanggil menjadi pejabat gerejawi berperan memimpin gereja. Hubungan antara pejabat gerejawi anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan dinamis dan dialasi oleh kasih.
6.        Misi gereja itu dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang. Karena itu, untuk melaksanakan misinya dengan baik, gereja dalam keseluruhan dan keutuhannya dipanggil untuk terus menerus melakukan pembangunan gereja
7.        Secara partikular, GKI disamping memahami dirinya sebagai bagian dari gereja Tuhan Yesus Kristus yang Esa juga memahami dirinya sebagai bagian dari gereja-gereja di Indonesia, dan bagian dari masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
8.        Keberadaan GKI dimaksudkan sebagai sumbangan bagi proses yang lebih nyata dari gereja Kristus yang Esa di Indonesia dan bagi pelksanaan yang lebih baik dari misi Allah. Oleh karena itu, wujud kesatuan GKI adalah kesatuan yang fungsional yang dicerminkan dalam bentuk kesatuan struktural yang organis, dengan tetap menghargai dan memanfaatkan semua kekayaan serta kepelbagaian warisan historis yang ada di dalamnya.
9.        Sebagai gereja di Indonesia, GKI mengakui bahwa gereja dan Negara memiliki kewenangan masing-masing yang tidak boleh dicampuri oleh yang lain. Namun keduanya adalah mitra sejajar yang saling menghormati, saling mengingatkan dan saling membantu.
10.    Dalam kebersamaan yang dijiwai oleh iman Kristiani serta semangat persatuan dan kesatuan bangsa, GKI membuka diri untuk bekerja sama dan berdialog dengan gereja-gereja lain, pemerintah, kelompok-kelpmpok yang ada di dalam masyarakat guna mengusahakan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan bagi seluruh rakyat Indonesia.[3]
            Dalam pegangan ajaran mengenai gereja, GKI mengakui dan mempercayai bahwa Allah Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala suku, bangsa, kaum dan bahasa ke dalam suatu persekutuan, yakni gereja dimana Kristus adalah Kepala. Gereja terdiri dari orang-orang berdosa yang dibenarkan oleh anugerah Allah berdasarkan iman kepada Yesus Kristus memerlukan pertobatan dan pembaharuan yang terus menerus. Untuk itu, gereja senantiasa memerlukan bimbingan, pemeliharaan, dan teguran Roh Kudus yang terus menerus membangun, memperbaharui dan mempersatukannya untuk mencapai kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus.
            Keesaan gereja tidak didasarkan pada kekuasaan duniawi tetapi pada persekutuan dan kasih. Persekutuan ini dikuduskan dalam kebenaran. Sehingga dengan demikian gereja itu kudus. Pengudusan itu dilakukan oleh Kristus yang telah menguduskan diriNya bagi gereja dan menguduskan gereja itu sebagai umat kepunyaanNya. Persekutuan yang telah dikuduskan itu diutus olehNya ke dalam dunia. Maka gereja ada di dunia tetapi bukan dari dunia. Kudus berasal dari Allah. Jadi, kudus bukan berarti bahwa anggota-anggota yang suci melainkan orang-orang berdosa yang hidup hanya oleh karena anugrah saja.[4]
Dari penjelasan di atas terlihat dengan jelas bahwa GKI dalam misinya di tengah-tengah dunia berusaha mewujudkan sebuah persekutuan hidup bersama Allah dan manusia. Persekutuan ini kudus karena berasal dari Allah yang kudus dan bahwa gereja yang bersekutu dengan Allah sudah terlebih dahulu dikuduskan oleh Yesus Kristus. Pemahaman diri seperti ini selaras dengan pemahaman gereja mengenai dirinya dalam konsep gereja sebagai persekutuan orang kudus menurut Lukas.
GKI menekankan bahwa gereja merupakan sebuah hidup persekutuan yang telah dikuduskan oleh Yesus yang kemudian mengutus gereja yang telah dikuduskan tersebut ke dalam dunia, sehingga sekalipun persekutuan (gereja) telah dikatakan sebagai orang kudus mereka tidak memisahkan diri dari dunia tetapi berada di dalam dunia sehingga kekudusan tetap merupakan suatu hal yang terus diperjuangkan. Dalam pemahaman seperti inilah maka GKI Salatiga hadir untuk merespon pengutusan Kristus tersebut.
Menurut data wawancara yang diperoleh dari informan, informan mengatakan bahwa GKI Salatiga sendiri memahami dirinya sebagai orang kudus, hal yang mana tercantum dalam 12 pasal pengakuan iman rasuli, yakni persekutuan orang kudus. Menurut informan, pada dirinya sendiri GKI Salatiga bukanlah persekutuan orang yang tidak berdosa dan suci tetapi ia menjadi kudus karena dikuduskan oleh Kristus.
Dalam persekutuan sebagai orang kudus itulah GKI Salatiga dituntut untuk hadir dengan segala perbedaan dan keberagaman setiap anggota jemaat dalam dunia menyatakan diri sebagai orang yang hidupnya berbeda dari kebanyakan orang. Dalam setiap profesi dan bidang pekerjaan masing-masing anggota dituntut suatu sikap hidup yang dapat mencerminkan kehidupan sebagai persekutuan yang kudus.
Setiap program pelayanan dan kesaksian yang dirancang sebenarnya menggambarkan kehidupan persekutuan jemaat. Setiap kali ada jemaat yang berkumpul di sana terdapat persekutuan. Dan karena persekutuan ini terdiri dari anggota jemaat yang telah dikuduskan Kristus maka setiap program pelayanan dan kesaksian GKI Salatiga dapat dikategorikan sebagai wujud kehadiran persekutuan orang kudus. Misalnya, dalam ibadah-ibadah kelompok kecil. Ibadah yang paling nyata adalah PA (penelaahan Alkitab). Di dalam PA terdapat kelompok-kelompok orang kudus yang belajar dan berdiskusi tentang Firman Allah dan sekaligus dijelaskan tindakan-tindakan konkret yang harus dilakukan dalam rangka melakukan kehendak Allah. Tindakan-tindakan konkret inilah yang merupakan usaha manusia (gereja) untuk terus hidup sebagai orang kudus. Tetapi seringkali jemaat sendiri sering lupa bahwa dirinya adalah bagian dari orang kudus. Gagasan yang selalu muncul dan mengiringi tekad dan realisasi dari tindakan-tindakan konkret di atas selalu berangkat dari pemahaman bahwa jemaat adalah orang kristen. Secara tersirat memang dapat dikatakan bahwa pemahaman jemaat sebagai orang kristen yang harus mengusahakan hidup yang berkenan (kudus) pada Allah tetapi dalam dalam taraf pemahaman jemaat GKI Salatiga termasuk penulis sebagai anggota jemaat GKI Salatiga, gagasan bahwa jemaat adalah orang kudus yang telah dibenarkan dan terus mempertahankan kekudusan lebih didominasi oleh pemahaman jemaat sebagai orang kristen yang harus hidup kudus.
Sedangkan pemahaman sebagai persekutuan sangat dipahami dan disadari oleh anggota jemaat GKI Salatiga. Segala bentuk perkumpulan dipahami sebagai persekutuan sesama orang beriman. Mulai dari kegiatan ibadah sampai pada kegiatan-kegiatan organisasi gereja. Persekutuan ini terdiri dari berbagai macam keberagaman. Anggota jemaat GKI Salatiga terdiri dari orang-orang yang berasal hampir dari setiap pulau yang ada di Indonesia. Tetapi jika dikumpulkan dalam sebuah perkumpulan (persekutuan) keberagaman tersebut dilihat sebagai sebuah persekutuan. Itulah sebabnya dalam Tata Gereja GKI dikatakan bahwa GKI mengakui dan mempercayai bahwa Allah Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala suku, bangsa, kaum dan bahasa ke dalam suatu persekutuan, yakni gereja dimana Kristus adalah Kepala.

Eklesiologi Dalam Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Secara umum pemahaman GKI Salatiga sebagai persekutuan orang kudus tergambar dalam teologi gereja yang dibangun (eklesiologi dari sudut ilmu bangunan dan dekorasi gereja). Gereja memahami dirinya sebagai persekutuan orang percaya yang telah dikuduskan (dibenarkan) melalui Kristus. Karena itu, GKI Salatiga merancang bangunan gereja sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut menggambarkan suasana gereja sebagai persekutuan orang kudus. Hal ini tampak dari model pintu masuk utama gereja yang didesain sedemikian rupa dengan tembok pemisah yang menghalangi pemandangan dari pintu utama menuju mimbar sehingga menimbulkan kesan bahwa ada pemisahan antara dunia luar dan gedung gereja (rumah Tuhan). Hal ini dimaksudkan agar ketika jemaat memasuki gedung gereja jemaat melupakan hal-hal duniawi dan menyadari benar bahwa ia kini sedang berada di rumah Tuhan, dipisahkan, dikhususkan, disendirikan, diasingkan dari yang lain, berbeda dari yang lain (dunia). Jemaat menyadari bahwa ia adalah orang yang telah dikuduskan/dibenarkan di dalam Kristus (orang kudus). Persekutuan, tampak dari penataan tempat duduk yang mengarah pada satu arah (satu tujuan) dengan pencahayaan yang mendukung suasana keakraban sehingga ketika jemaat mamasuki gedung ibadah, jemaat merasa berada dalam sebuah persekutuan sebuah keluarga besar (GKI Salatiga) sebab kesan yang ditimbulkan oleh desain bangunan gereja adalah kesan kekeluargaan dalam sebuah persekutuan yang akrab. Selain itu, penataan mimbar yang tidak terlalu tinggi juga memberi kesan bahwa pemimpin ibadah (pengkhotbah) adalah bagian dari persekutuan tersebut.
Berdasarkan pemahaman yang demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam keberadaannya GKI Salatiga hadir sebagai persekutuan orang kudus seperti juga yang terdapat dalam konsep gereja menurut Lukas. Pembentukan keberadaan seperti ini tidak terlepas dari pengaruh eklesiologi gereja yang dibangun tentang gereja itu sendiri. Dari berbagai macam bentuk kehadiran GKI Salatiga berdasarkan model-model gereja yang ada, kehadirannya sebagai persekutuan orang kudus mendapat tempat dan ruang yang cukup penting yang turut dipengaruhi dan mempengaruhi eklesiologi gereja yang dibangun. Meskipun dalam tataran anggota jemaat sendiri penyebutan diri sebagai orang kudus kurang disadari dalam kehidupan bergereja tetapi bahwa yang mendominasi adalah kesadaran diri sebagai orang kristen (gereja) yang harus terus menerus memperjuangkan kekudusan tesebut.

Gereja Yang Hidup Dalam Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Sebagai sebuah persekutuan orang kudus yang masih tetap tinggal dalam dunia dalam hal ini hidup dalam konteks Indonesia maka GKI Salatiga meskipun telah dikuduskan tetap dituntut untuk terus menjaga kehidupannya sebagai orang kudus dalam persekutuan dengan sesama anggota jemaat. Sebagaimana gereja adalah kudus, dipisahkan, dikhususkan, disendirikan, diasingkan dari yang lain dan berbeda dari dunia maka seharusnyalah dalam kehidupan bermasyarakat masing-masing anggota jemaat menerapkan gaya hidup yang mengusahakan kekudusan, gaya hidup yang berbeda dari dunia. Sebagai contoh konkret, hendaknya gereja yang hidup dalam konteks Indonesia (yang terkenal sebagai Negara paling korup) menjadi masyarakat yang dapat tampil berbeda dan memberi teladan hidup kudus sebagaimana ia adalah orang kudus. Karena itu, misi GKI dalam dunia mengusahakan persekutuan untuk mewujudkan damai sejahtera Allah akan tercapai apabila setiap anggota jemaat khususnya GKI Salatiga sendiri menyadari keberadaannya sebagai orang kudus yang telah dikuduskan melalui Kristus dan terus mengusahakan kekudusan tersebut. Maka usaha memperjuangkan kekudusan tidak terbatas pada tembok gereja tetapi keluar dari lingkungan gereja menuju masyarakat luas. Orang kudus yang diutus ke dalam dunia. GKI Salatiga diutus dalam konteks kehidupannya, Indonesia (khususnya Salatiga) untuk menunjukkan hidup kudus yang berbeda dari praktek kehidupan yang belum dikuduskan. Sama seperti kehidupan gereja perdana dalam konsep gereja menurut Lukas, mereka telah dikuduskan dan tetap terus mengusahakan kekudusan tersebut.

3.            PENUTUP

Gereja hadir dari sebuah persekutuan. Persekutuan ini dikuduskan melalui Kristus sehingga disebut sebagai persekutuan orang kudus. Hal ini tidak berarti bahwa gereja tidak berdosa tetapi bahwa gereja dibenarkan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Gereja diutus ke dalam dunia, hidup di dalam dunia tetapi tidak berasal dari dunia. Hal ini pulalah yang tergambar dalam pemahaman GKI Salatiga mengenai keberadaannya dalam dunia ini khususnya dalam konteks Indonesia. Setiap anggota jemaat telah dibenarkan oleh Allah tetapi jemaat pun dituntut untuk terus memperjuangkan pembenaran (kekudusan) itu. Tetapi bahwa usaha untuk terus hidup kudus dalam pemahaman anggota jemaat GKI Salatiga lebih sering berangkat dari pemahaman anggota jemaat sebagai orang kristen daripada pemahaman bahwa mereka adalah orang kudus yang harus terus memperjuangkan kekudusan. Meskipun demikian, teologi gereja (desain bangunan gereja) yang dibangun turut memperhatikan gereja sebagai persekutuan orang kudus yang terangkum dalam bangunan dan penataan gedung ibadah. Dari dasar teologi gereja semacam ini maka pada hakekatnya semua anggota jemaat GKI Salatiga diutus ke dalam dunia (Indonesia, Salatiga) sebagai orang-orang kudus yang hidup mengusahakan kekudusan seperti yang juga dilakukan jemaat perdana dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Sehingga secara umum, konsep gereja sebagai persekutuan orang kudus sedikit banyak berangkat dari pemahaman gereja menurut Lukas.

DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, Yusak B. Hand-outs Eklesiologi. Salatiga : Fakultas Teologi UKSW
Jacobs, Tom dkk. 1992. Gereja Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta : Kanisius
Hadiwijono, Harun. 2009. Iman Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Dulles, Avery. 1987. Model-model Gereja. Ende : Nusa Indah
Badan Pekerja Majelis Sinode GKI. 2003. Tata Gereja : Gereja Kristen Indonesia. Jakarta
Guthrie, Donald. 2009. Teologi Perjanjian Baru 3. Jakarta : BPK Gunung Mulia




[1] Yusak B Setiawan. Hand-Outs Eklesiologi. A Draft. (Salatiga : Fakultas Teologi UKSW) 10
[2] Harun Hadiwijono. Iman Kristen. (BPK Gunung Mulia, 2009) 374-381
[3] Tata Gereja GKI. 3-4
[4] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar