Tulisan ini merupakan makalah akhir mata kuliah
Eklesiologi. Saya bergereja di GKI Salatiga jadi lebih mudah menulis tentang
gereja ini. Hehehe tulisan ini belum sempurna, ditulis sekitar awal Agustus
2011. Semoga bermanfaat ^_^
1.
PENDAHULUAN
Makalah ini
akan menjelaskan eksistensi Gereja Kristen Indonesia Salatiga dalam hubungannya
dengan pemahaman Lukas mengenai gereja sebagai persekutuan orang kuduus.
Pemahaman gereja sebagai orang kudus menurut Lukas dalam injilnya dan dalam
Kisah Para Rasul serta tambahan beberapa pemahaman mengenai hal yang sama akan
menjadi dasar pemikiran untuk menjelaskan bagaimana GKI khususnya GKI Salatiga
memandang keberadaannya sebagai persekutuan orang kudus dalam dunia. Titik
tolak pemahaman GKI Salatiga adalah Tata Gereja GKI. Pada bagian akhir dari
makalah ini akan diberikan kesimpulan eksistensi GKI Salatiga dalam hubungannya
dengan gereja sebagai persekutuan orang kudus menurut Lukas.
2.
BATANG TUBUH
Ada baiknya
jika bagian ini diawali dengan defenisi gereja dan eklesiologi sebagai
pengantar. Kata gereja berasal dari kata Portugis igreya yang berasal dari terjemahan kata Yunani kyriake yang berarti menjadi milik
Tuhan. Selain itu, ada kata lain yang
dipakai dalam Alkitab (PB) untuk menggambarkan sebuah perkumpulan orang-orang
yang dipanggil untuk berkumpul adalah ekklesia.
Kata ekklesia sendiri merupakan
terjemahan dari kata kahal Yahwe
dalam PL yang berarti umat Allah yang kudus yang dipilih dari segala bangsa di
atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan TUHAN. Dengan demikian gereja
adalah persekutuan orang-orang beriman yang dipanggil dan dikumpulkan oleh
Tuhan. Menurut Avery Dulles, gereja adalah suatu persekutuan atau persekutuan
karena rahmat Kristus. Gereja juga
didefinisikan sebagai tempat bersekutu meskipun kekristenan memahami bahwa
gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan orangnya, tetapi seringkali kita
memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat bersekutu. Yang jelas dimana
ada orang bersekutu didalam Kristus disitulah gereja berada.
Kata
eklesiologi berasal dari bahasa Yunani ἐκκλησια, yang berarti gereja; dan λογος, yang berarti perkataan, firman, atau ilmu sehingga eklesiologi merupakan salah satu sub-disiplin ilmu
teologi yang membahas mengenai hakikat dan fungsi gereja, berkaitan
dengan identitas dan misi gereja di dalam dunia. Eklesiologi juga didefinisikan
sebagai usaha untuk memahami gereja secara teologis (ilmu tentang gereja).
Karena teologi dalam bentuk awal juga dihasilkan oleh gereja yang kemudian
merekonstruksi pemahaman tentang gereja itu sendiri maka eklesiologi pun dapat
dikatakan sebagai ilmu oleh dan tentang gereja. Selain itu, eklesiologi juga
dapat didefinisikan sebagai ilmu bangunan dan dekorasi gereja.
Gereja
lahir pertama kali di Yerusalem dalam bentuk jemaat-jemaat kecil, yakni
orang-orang yang percaya kepada Yesus. Dalam perkembangannya, gereja dipahami
berbeda-beda oleh penulis kitab PB sehingga terdapat banyak konsep gereja yang
dibangun dan dapat kita lihat dalam surat-surat dan injil-injil PB.
Masing-masing penulis membentuk konsep tentang gereja berdasarkan pemahaman dan
pengalaman dimana jemaat tersebut itu berada serta dipengaruhi oleh budaya
dimana gereja tersebut berkembang.
Konsep
gereja menurut Lukas akan menjadi pokok utama pembahasan dalam makalah ini.
Konsep gereja menurut Lukas terekam dalam injilnya dan dalam Kisah Para Rasul.
Dalam Kisah Para Rasul terdapat informasi mengenai gereja perdana yang menyebut
dirinya dengan tiga sebutan menjadi ciri khas gereja menurut Lukas, yakni orang
kudus, jemaat Allah, dan pengikut Jalan Tuhan. Orang kudus berarti jemaat
adalah orang dikuduskan di dalam Kristus, jemaat mengalami perubahan radikal
dari hidup yang lama kepada hidup yang baru, yang telah dikuduskan. Jemaat
Allah adalah sebutan yang diadopsi dari PL (qehal YHWH). Pengikut Jalan Tuhan
berarti mereka yang mengikuti Kristus. Dalam penyebutan diri seperti ini gereja
mempunyai ciri eksodus : lewat salib dan kematian sampai kepada hidup. Dalam
perjalanan pembebasan ini gereja mesti siap menerima pencobaan dalam
pengharapan untuk memperoleh kemuliaan. Karena itu, gereja dipanggil untuk
berjalan bersama Kristus, menyesuaikan diri dengan kehendak Bapa (Luk 9:57-62;
18:31-34; 19:28; 22:28)
Eklesia
menurut Lukas adalah jemaat Allah yang ide eklesianya diambil dari PL (qehal
YHWH) dan merujuk pada pemahaman baru, yakni umat Allah Perjanjian Baru yang
tidak terbatas pada umat Allah Perjanjian Lama. Konteks gereja perdana pada
masa itu diwarnai dengan tugas perutusan berkaitan dengan misi pekabarannya
yang sampai ke ujung bumi.
Gereja perdana memaknai qehal YHWH dengan cara baru :
§
Peran penyelamatan Yesus
Kristus (Kis 10)
§
Universalitas keselamatan
§
Relasi antara Kerajaan
Allah dan eklesia
§
Kesatuan dengan Yesus
§
Berbeda dengan Qumran,
tidak memisahkan diri dari masyarakat walaupun menyebut diri orang kudus.[1]
Pemaknaan diri gereja
sebagai orang kudus akan menjadi focus utama makalah ini. Berulang kali
dalam Kisah Para Rasul ditemukan
penyebutan diri orang kudus untuk perkumpulan orang-orang percaya. Kata ‘kudus’
sendiri berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda
dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena
dikuduskan oleh Kristus. Karena gereja terdiri dari orang-orang kudus maka
dapatlah gereja dikatakan sebagai persekutuan/perkumpulan orang kudus. Kata
yang diterjemahkan dengan ‘persekutuan orang kudus’ adalah communion sanctorum.
Kata sanctorum berarti barang-barang yang kudus (sakramen) atau dari kata sanctus
yaitu orang-orang kudus. Persekutuan orang kudus tidak berarti bahwa
orang-orang di dalamnya terdiri dari orang yang sempurna. Kata persekutuan
harus dipandang sama dengan kata koinonia dalam Alkitab sehingga persekutuan
orang kudus harus ditafsirkan sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh
Kudus. Jadi gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna melainkan
masih terdiri dari orang-orang yang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka
persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai suatu tugas panggilan yang
harus terus diperjuangkan. Jadi, gereja sebagai orang kudus bukanlah
orang-orang yang tidak berdosa tetapi orang yang dikuduskan Allah dalam Kristus
oleh Roh Kudus dan yang tetap memperjuangkan kekudusan itu.[2]
Gereja
dalam Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Gereja dalam keberadaannya di Indonesia membentuk dirinya
sesuai dengan kebudayaan masyarakat dimana gereja tersebut berkembang. Ketika
sampai di Indonesia, gereja ini selalu mengambil bentuknya sendiri. Jemaat dari
setiap gereja yang dibentuk adalah masyarakat Indonesia yang ketika bergabung
dalam sebuah persekutuan identitas asli dari masing-masing anggota ikut serta
dibawa. Demikian pula hal yang terjadi dengan GKI Salatiga. berikut akan
dijelaskan sejarah singkat GKI Salatiga untuk memudahkan memahami gereja dalam
konteks Indonesia dalam hal ini GKI Salatiga.
Sejarah
GKI Salatiga
Cikal bakal GKI Salatiga sendiri berdiri pada awal tahun
1900 dengan jumlah anggota kurang lebih 25 orang Tionghoa yang mengadakan kebaktian
di rumah pekabar injil Jasper yang berlokasi di Jln. Kota Praja (sekarang: Jln
Sukowati). Selain itu, ada juga pekabar injil Kamp yang melayani orang-orang
dari suku Jawa di Jln. Beringin (sekarang: Jln. Patimura).
Setelah pekabar injil Jasper dan Kamp meninggal dunia, maka
kedua kelompok itu bergabung dibawah pimpinan pekabar injil Van Deer Veen pada tahun 1928. Pada tahun 1930
Van Deer Veen pindah ke Ungaran sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Teologia
Bersyukur. Kemudian ia digantikan oleh pekabar injil H. Bax yang melanjutkan
pelayanan ketiga pekabar injil terdahulu.
Pada waktu itu jumlah pengunjung kebaktian minggu bertambah
kurang lebih 60 orang, sampai pada tahun 1932 berhasil membangun sebuah gedung
Gereja yang sampai saat ini digunakan sebagai gedung Gereja Kristen Jawa Tengah
Utara (GKJTU).
Pada tahun 1938 H. Bax meninggal dunia, dan digantikan oleh
Liem Siok Hie yang dibantu oleh saudaranya Liem Yiok Sien(salah seorang onggota
Jemaat dari Salatiga). Mengenai Liem Yiok Sien, ia pernah bekerja di perusahaan
Belanda di Semarang. Ia seorang yang rajin membaca Alkitab yang kemudian oleh
pimpinannya ia diminta untuk bekerja dan digaji penuh untuk tugas pekabaran
injil. Pada tahun 1920 ia menjadi Penatua dan pengajar di Semarang dalam bahasa
Melayu. Tahun 1932 mulai membuka sebuah suatu perguruan PI sendiri khusus untuk
golongan Tionghoa yang berpusat di rumahnya (Jl. Plampitan, Semarang).
Sementara kebaktian Minggu diadakan di Gereja Melakim Semarang. Ia kemudian
ditabiskan menjadi Pendeta pada tahun 1935.
Mengenai H. Bax pada tahun 1938 kembali ke Jerman. Dan
kurang lebih 2 tahun tidak ada penggantinya karena pra perang dunia kedua. Dua
tahun kemudian (1940) menyusul Tjoa Tjin Taow (Basilea Maruta) yang melayani
selaku guru injil, karena ada kekosongan pelayan. Dan pada tahun 1941 pindah di
Salatiga.
Selanjutnya hadir guru injil Tan Ik Hay (Iskak Gunawan) yang
sebelumnya melayani di Yogyakarta. Ia ditahbiskan menjadi pendeta jemaat yang
pertama pada tanggal 20 Januari 1943. Pada waktu itu Jemaat berkembang cukup
pesat. Jemaat ini bernama Tionghoa Kietok Kauw Hwee yang sekarang
menjadi Gereja Kristen Indonesia Salatiga, yang berlokasi di Jalan Jendral
Sudirman 111. Jumlah anggota jemaat menjelang pindahnya beliau ke GKI Ngumpasan
Yogyakarta adalah kurang lebih 400 orang.
Pada tanggal 3 Maret 1959 Pdt. Tan Ik
Hay pindah ke GKI Ngumpasan Yogyakarta dan digantikan oleh Pdt. Go Eng Tjoe
(Paulus Sudirgo), yang semula melayani di GKI Purwokerto. Pada masa pendeta inilah gereja berhasil membeli sebidang
tanah untuk dibangun gedung GKI Salatiga dan Yayasan Pendidikan Ebenhaezer.
Untuk
memahami dasar teologi Gereja Kristen Indonesia maka di bawa ini akan
diapaparkan Mukadimah GKI :
1.
Oleh bimbingan dan
pertolongan Roh Kudus, Gereja Kristen Indonesia (GKI) yang merupakan kelanjutan
dan wujud kesatuan dari Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, Kristen Indonesia
Jawa Timur dan Kristen Indonesia Jawa Tengah dalam menggumuli Firman Allah yang
disaksikan oleh Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru di tengah-tengah
dunia dalam konteks Indonesia pada masa kini dengan ini menyatakan pokok-pokok
pemahaman dan pengakuan imannya mengenai gereja yang universal dan dirinya
sendiri secara partikular sebagai berikut :
2.
Secara universal, gereja
bersumber pada Allah yang menyelamatkan melalui karya-Nya di dalam dan
sepanjang sejarah. Karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya pada Tuhan
Yesus Kristus dilakukan secara menyeluruh dan meliputi segala sesuatu menuju
pemenuhan Kerajaan Allah. Dalam rangka penyelamatan itu, melalui perjanjianNya
Allah menghimpun umat pilihanNya yang dimulai dari umat Israel dan dilanjutkan
dengan umat Allah yang baru dalam Tuhan Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus, yaitu
gereja. Sebagai umat baru, gereja itu
esa. Keesaan gereja itu adalah keesaan dalam kepelbagaian. Dengan demikian
gereja adalah persekutuan yang esa dari orang-orang beriman kepada Yesus
Kristus - Tuhan dan Juruslamat dunia - yang dengan kuasa Roh Kudus dipanggil
dan diutus Allah untuk berperan serta dalam mengerjakan misi Allah.
3.
Dalam rangka berperan serta
mengerjakan misi Allah, gereja melaksanakan misinya. Misi gereja itu
dilaksanakan oleh seluruh anggota gereja dalam konteks masyarakat, bangsa dan Negara
dimana gereja ditempatkan.
4.
Misi gereja dilaksanakan
oleh gereja, baik dengan mewujudkan persekutuan dengan Allah dan dengan sesama
secara terus menerus berdasarkan kasih, maupun dalam bentuk kesaksian dan
pelayanan.
5.
Dalam rangka melaksanakan
misi gereja, anggota gereja berperan secara hakiki sesuai dengan panggilan
Allah dan karunia Roh Kudus. Sehubungan dengan itu, anggota gereja yang
dipanggil menjadi pejabat gerejawi berperan memimpin gereja. Hubungan antara
pejabat gerejawi anggota gereja bukan merupakan hubungan yang hierarkis
melainkan hubungan fungsional yang timbal balik dan dinamis dan dialasi oleh
kasih.
6.
Misi gereja itu
dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang.
Karena itu, untuk melaksanakan misinya dengan baik, gereja dalam keseluruhan
dan keutuhannya dipanggil untuk terus menerus melakukan pembangunan gereja
7.
Secara partikular, GKI
disamping memahami dirinya sebagai bagian dari gereja Tuhan Yesus Kristus yang
Esa juga memahami dirinya sebagai bagian dari gereja-gereja di Indonesia, dan
bagian dari masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
8.
Keberadaan GKI dimaksudkan
sebagai sumbangan bagi proses yang lebih nyata dari gereja Kristus yang Esa di
Indonesia dan bagi pelksanaan yang lebih baik dari misi Allah. Oleh karena itu,
wujud kesatuan GKI adalah kesatuan yang fungsional yang dicerminkan dalam
bentuk kesatuan struktural yang organis, dengan tetap menghargai dan
memanfaatkan semua kekayaan serta kepelbagaian warisan historis yang ada di
dalamnya.
9.
Sebagai gereja di
Indonesia, GKI mengakui bahwa gereja dan Negara memiliki kewenangan
masing-masing yang tidak boleh dicampuri oleh yang lain. Namun keduanya adalah
mitra sejajar yang saling menghormati, saling mengingatkan dan saling membantu.
10. Dalam kebersamaan yang dijiwai oleh iman Kristiani serta
semangat persatuan dan kesatuan bangsa, GKI membuka diri untuk bekerja sama dan
berdialog dengan gereja-gereja lain, pemerintah, kelompok-kelpmpok yang ada di
dalam masyarakat guna mengusahakan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, dan
keutuhan ciptaan bagi seluruh rakyat Indonesia.[3]
Dalam
pegangan ajaran mengenai gereja, GKI mengakui dan mempercayai bahwa Allah Roh
Kudus menghimpun umat-Nya dari segala suku, bangsa, kaum dan bahasa ke dalam
suatu persekutuan, yakni gereja dimana Kristus adalah Kepala. Gereja terdiri
dari orang-orang berdosa yang dibenarkan oleh anugerah Allah berdasarkan iman
kepada Yesus Kristus memerlukan pertobatan dan pembaharuan yang terus menerus.
Untuk itu, gereja senantiasa memerlukan bimbingan, pemeliharaan, dan teguran
Roh Kudus yang terus menerus membangun, memperbaharui dan mempersatukannya
untuk mencapai kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan
kepenuhan Kristus.
Keesaan
gereja tidak didasarkan pada kekuasaan duniawi tetapi pada persekutuan dan
kasih. Persekutuan ini dikuduskan dalam kebenaran. Sehingga dengan demikian
gereja itu kudus. Pengudusan itu dilakukan oleh Kristus yang telah menguduskan
diriNya bagi gereja dan menguduskan gereja itu sebagai umat kepunyaanNya.
Persekutuan yang telah dikuduskan itu diutus olehNya ke dalam dunia. Maka
gereja ada di dunia tetapi bukan dari dunia. Kudus berasal dari Allah. Jadi,
kudus bukan berarti bahwa anggota-anggota yang suci melainkan orang-orang
berdosa yang hidup hanya oleh karena anugrah saja.[4]
Dari penjelasan di atas
terlihat dengan jelas bahwa GKI dalam misinya di tengah-tengah dunia berusaha
mewujudkan sebuah persekutuan hidup bersama Allah dan manusia. Persekutuan ini
kudus karena berasal dari Allah yang kudus dan bahwa gereja yang bersekutu
dengan Allah sudah terlebih dahulu dikuduskan oleh Yesus Kristus. Pemahaman
diri seperti ini selaras dengan pemahaman gereja mengenai dirinya dalam konsep
gereja sebagai persekutuan orang kudus menurut Lukas.
GKI menekankan bahwa gereja
merupakan sebuah hidup persekutuan yang telah dikuduskan oleh Yesus yang
kemudian mengutus gereja yang telah dikuduskan tersebut ke dalam dunia,
sehingga sekalipun persekutuan (gereja) telah dikatakan sebagai orang kudus
mereka tidak memisahkan diri dari dunia tetapi berada di dalam dunia sehingga
kekudusan tetap merupakan suatu hal yang terus diperjuangkan. Dalam pemahaman
seperti inilah maka GKI Salatiga hadir untuk merespon pengutusan Kristus
tersebut.
Menurut data wawancara yang
diperoleh dari informan, informan mengatakan bahwa GKI Salatiga sendiri
memahami dirinya sebagai orang kudus, hal yang mana tercantum dalam 12 pasal
pengakuan iman rasuli, yakni persekutuan orang kudus. Menurut informan, pada
dirinya sendiri GKI Salatiga bukanlah persekutuan orang yang tidak berdosa dan
suci tetapi ia menjadi kudus karena dikuduskan oleh Kristus.
Dalam persekutuan sebagai
orang kudus itulah GKI Salatiga dituntut untuk hadir dengan segala perbedaan
dan keberagaman setiap anggota jemaat dalam dunia menyatakan diri sebagai orang
yang hidupnya berbeda dari kebanyakan orang. Dalam setiap profesi dan bidang
pekerjaan masing-masing anggota dituntut suatu sikap hidup yang dapat
mencerminkan kehidupan sebagai persekutuan yang kudus.
Setiap program pelayanan
dan kesaksian yang dirancang sebenarnya menggambarkan kehidupan persekutuan
jemaat. Setiap kali ada jemaat yang berkumpul di sana terdapat persekutuan. Dan
karena persekutuan ini terdiri dari anggota jemaat yang telah dikuduskan
Kristus maka setiap program pelayanan dan kesaksian GKI Salatiga dapat
dikategorikan sebagai wujud kehadiran persekutuan orang kudus. Misalnya, dalam
ibadah-ibadah kelompok kecil. Ibadah yang paling nyata adalah PA (penelaahan
Alkitab). Di dalam PA terdapat kelompok-kelompok orang kudus yang belajar dan
berdiskusi tentang Firman Allah dan sekaligus dijelaskan tindakan-tindakan
konkret yang harus dilakukan dalam rangka melakukan kehendak Allah.
Tindakan-tindakan konkret inilah yang merupakan usaha manusia (gereja) untuk
terus hidup sebagai orang kudus. Tetapi seringkali jemaat sendiri sering lupa
bahwa dirinya adalah bagian dari orang kudus. Gagasan yang selalu muncul dan
mengiringi tekad dan realisasi dari tindakan-tindakan konkret di atas selalu
berangkat dari pemahaman bahwa jemaat adalah orang kristen. Secara tersirat
memang dapat dikatakan bahwa pemahaman jemaat sebagai orang kristen yang harus
mengusahakan hidup yang berkenan (kudus) pada Allah tetapi dalam dalam taraf
pemahaman jemaat GKI Salatiga termasuk penulis sebagai anggota jemaat GKI Salatiga,
gagasan bahwa jemaat adalah orang kudus yang telah dibenarkan dan terus
mempertahankan kekudusan lebih didominasi oleh pemahaman jemaat sebagai orang
kristen yang harus hidup kudus.
Sedangkan pemahaman sebagai
persekutuan sangat dipahami dan disadari oleh anggota jemaat GKI Salatiga.
Segala bentuk perkumpulan dipahami sebagai persekutuan sesama orang beriman.
Mulai dari kegiatan ibadah sampai pada kegiatan-kegiatan organisasi gereja.
Persekutuan ini terdiri dari berbagai macam keberagaman. Anggota jemaat GKI
Salatiga terdiri dari orang-orang yang berasal hampir dari setiap pulau yang
ada di Indonesia. Tetapi jika dikumpulkan dalam sebuah perkumpulan
(persekutuan) keberagaman tersebut dilihat sebagai sebuah persekutuan. Itulah
sebabnya dalam Tata Gereja GKI dikatakan bahwa GKI mengakui dan mempercayai
bahwa Allah Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala suku, bangsa, kaum dan
bahasa ke dalam suatu persekutuan, yakni gereja dimana Kristus adalah Kepala.
Eklesiologi
Dalam Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Secara umum pemahaman GKI
Salatiga sebagai persekutuan orang kudus tergambar dalam teologi gereja yang
dibangun (eklesiologi dari sudut ilmu bangunan dan dekorasi gereja). Gereja
memahami dirinya sebagai persekutuan orang percaya yang telah dikuduskan
(dibenarkan) melalui Kristus. Karena itu, GKI Salatiga merancang bangunan
gereja sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut menggambarkan suasana gereja
sebagai persekutuan orang kudus. Hal ini tampak dari model pintu masuk utama
gereja yang didesain sedemikian rupa dengan tembok pemisah yang menghalangi
pemandangan dari pintu utama menuju mimbar sehingga menimbulkan kesan bahwa ada
pemisahan antara dunia luar dan gedung gereja (rumah Tuhan). Hal ini
dimaksudkan agar ketika jemaat memasuki gedung gereja jemaat melupakan hal-hal
duniawi dan menyadari benar bahwa ia kini sedang berada di rumah Tuhan,
dipisahkan, dikhususkan, disendirikan, diasingkan dari yang lain, berbeda dari
yang lain (dunia). Jemaat menyadari bahwa ia adalah orang yang telah
dikuduskan/dibenarkan di dalam Kristus (orang kudus). Persekutuan, tampak dari
penataan tempat duduk yang mengarah pada satu arah (satu tujuan) dengan
pencahayaan yang mendukung suasana keakraban sehingga ketika jemaat mamasuki
gedung ibadah, jemaat merasa berada dalam sebuah persekutuan sebuah keluarga
besar (GKI Salatiga) sebab kesan yang ditimbulkan oleh desain bangunan gereja
adalah kesan kekeluargaan dalam sebuah persekutuan yang akrab. Selain itu,
penataan mimbar yang tidak terlalu tinggi juga memberi kesan bahwa pemimpin
ibadah (pengkhotbah) adalah bagian dari persekutuan tersebut.
Berdasarkan pemahaman yang
demikian, dapatlah dikatakan bahwa dalam keberadaannya GKI Salatiga hadir
sebagai persekutuan orang kudus seperti juga yang terdapat dalam konsep gereja
menurut Lukas. Pembentukan keberadaan seperti ini tidak terlepas dari pengaruh
eklesiologi gereja yang dibangun tentang gereja itu sendiri. Dari berbagai
macam bentuk kehadiran GKI Salatiga berdasarkan model-model gereja yang ada,
kehadirannya sebagai persekutuan orang kudus mendapat tempat dan ruang yang
cukup penting yang turut dipengaruhi dan mempengaruhi eklesiologi gereja yang
dibangun. Meskipun dalam tataran anggota jemaat sendiri penyebutan diri sebagai
orang kudus kurang disadari dalam kehidupan bergereja tetapi bahwa yang
mendominasi adalah kesadaran diri sebagai orang kristen (gereja) yang harus
terus menerus memperjuangkan kekudusan tesebut.
Gereja Yang Hidup Dalam
Konteks Indonesia (Gereja Kristen Indonesia Salatiga)
Sebagai sebuah persekutuan
orang kudus yang masih tetap tinggal dalam dunia dalam hal ini hidup dalam
konteks Indonesia maka GKI Salatiga meskipun telah dikuduskan tetap dituntut
untuk terus menjaga kehidupannya sebagai orang kudus dalam persekutuan dengan
sesama anggota jemaat. Sebagaimana gereja adalah kudus, dipisahkan,
dikhususkan, disendirikan, diasingkan dari yang lain dan berbeda dari dunia
maka seharusnyalah dalam kehidupan bermasyarakat masing-masing anggota jemaat
menerapkan gaya hidup yang mengusahakan kekudusan, gaya hidup yang berbeda dari
dunia. Sebagai contoh konkret, hendaknya gereja yang hidup dalam konteks
Indonesia (yang terkenal sebagai Negara paling korup) menjadi masyarakat yang
dapat tampil berbeda dan memberi teladan hidup kudus sebagaimana ia adalah
orang kudus. Karena itu, misi GKI dalam dunia mengusahakan persekutuan untuk
mewujudkan damai sejahtera Allah akan tercapai apabila setiap anggota jemaat
khususnya GKI Salatiga sendiri menyadari keberadaannya sebagai orang kudus yang
telah dikuduskan melalui Kristus dan terus mengusahakan kekudusan tersebut.
Maka usaha memperjuangkan kekudusan tidak terbatas pada tembok gereja tetapi
keluar dari lingkungan gereja menuju masyarakat luas. Orang kudus yang diutus
ke dalam dunia. GKI Salatiga diutus dalam konteks kehidupannya, Indonesia
(khususnya Salatiga) untuk menunjukkan hidup kudus yang berbeda dari praktek
kehidupan yang belum dikuduskan. Sama seperti kehidupan gereja perdana dalam
konsep gereja menurut Lukas, mereka telah dikuduskan dan tetap terus
mengusahakan kekudusan tersebut.
3.
PENUTUP
Gereja hadir dari sebuah persekutuan. Persekutuan ini
dikuduskan melalui Kristus sehingga disebut sebagai persekutuan orang kudus.
Hal ini tidak berarti bahwa gereja tidak berdosa tetapi bahwa gereja dibenarkan
oleh Allah melalui Yesus Kristus. Gereja diutus ke dalam dunia, hidup di dalam
dunia tetapi tidak berasal dari dunia. Hal ini pulalah yang tergambar dalam
pemahaman GKI Salatiga mengenai keberadaannya dalam dunia ini khususnya dalam
konteks Indonesia. Setiap anggota jemaat telah dibenarkan oleh Allah tetapi
jemaat pun dituntut untuk terus memperjuangkan pembenaran (kekudusan) itu.
Tetapi bahwa usaha untuk terus hidup kudus dalam pemahaman anggota jemaat GKI
Salatiga lebih sering berangkat dari pemahaman anggota jemaat sebagai orang
kristen daripada pemahaman bahwa mereka adalah orang kudus yang harus terus
memperjuangkan kekudusan. Meskipun demikian, teologi gereja (desain bangunan
gereja) yang dibangun turut memperhatikan gereja sebagai persekutuan orang
kudus yang terangkum dalam bangunan dan penataan gedung ibadah. Dari dasar
teologi gereja semacam ini maka pada hakekatnya semua anggota jemaat GKI
Salatiga diutus ke dalam dunia (Indonesia, Salatiga) sebagai orang-orang kudus
yang hidup mengusahakan kekudusan seperti yang juga dilakukan jemaat perdana
dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Sehingga secara umum, konsep gereja
sebagai persekutuan orang kudus sedikit banyak berangkat dari pemahaman gereja
menurut Lukas.
DAFTAR
PUSTAKA
Setiawan, Yusak B. Hand-outs Eklesiologi. Salatiga :
Fakultas Teologi UKSW
Jacobs,
Tom dkk. 1992. Gereja Menurut Perjanjian
Baru. Yogyakarta : Kanisius
Hadiwijono,
Harun. 2009. Iman Kristen. Jakarta :
BPK Gunung Mulia
Dulles,
Avery. 1987. Model-model Gereja. Ende
: Nusa Indah
Badan Pekerja Majelis Sinode GKI. 2003. Tata Gereja : Gereja Kristen Indonesia. Jakarta
Guthrie,
Donald. 2009. Teologi Perjanjian Baru 3.
Jakarta : BPK Gunung Mulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar