Senin, 12 Agustus 2013

REFLEKSI TEOLOGIS TERHADAP MARKUS 10:13-16




Tulisan ini merupakan tugas kecil dalam mata kuliah PAK Kategorial. Masih sangat kelihatan belum teraturnya cara berpikir saya dalam menafsir. Karena saya ingin mempertahankan tafsiran belia ini untuk mengingatkan saya bahwa dulu saya juga belajar dari nol. Semoga bermanfaat ^_^

         Isi sebuah tulisan selalu berangkat dari konteks kehidupan penulisnya. Gagasan, pokok permasalahan yang dibicarakan selalu berkaitan erat dengan apa yang sedang dialami penulis. Seringkali sebuah tulisan muncul sebagai reaksi atau protes terhadap perlakuan tertentu yang diterima. Dalam hal ini, Injil Markus pun yang ditulis sekitar tahun 72-85 M berangkat dari situasi tertentu yang terjadi sekitar tahun penulisan tersebut.  
            Dalam Markus 10:13-16, penulis mengisahkan peristiwa yang menggambarkan keberpihakan Yesus terhadap anak-anak. Yesus yang merupakan pusat perhatian dalam injil Markus digambarkan sebagai pribadi yang tidak saja menunjukkan kepedulian terhadap anak-anak tetapi juga menyatakan sebuah pemahaman radikal bahwa anak-anak inilah yang empunya Kerajaan Allah.
            13Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; Tindakan ini menggambarkan bahwa para orang tua memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pertumbuhan iman anak-anaknya. Anak-anak ini dibawa untuk mengenal Yesus. Suatu tindakan berani sebab anak-anak pada masa itu bukan merupakan orang yang patut dihargai secara utuh. Tentu keberanian mereka datang kepada Yesus didasari oleh keyakinan dan pengalaman yang telah mereka saksikan bahwa Yesus menghargai dan peduli pada anak-anak.
            Akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Kata kerja ‘memarahi’ yang dipakai adalah evpeti,mhsan yang berarti mengomeli, memarahi (to rebuke). Kata ini menunjukkan betapa para murid tidak suka dengan kehadiran anak-anak di sekitar mereka. Ketidaksukaan ini beralasan kuat sebab Yesus pernah memberi contoh kepada para murid bahwa mereka harus menerima anak kecil sama seperti mereka menerima Yesus.
            14Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: "Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Kata ‘marah’ dalam ayat ini menggunakan kata hvgana,kthsen yang berarti marah, naik darah, gusar (to be indignant). Jika kita perhatikan kata hvgana,kthsen menggambarkan bahwa kemarahan Yesus lebih besar dari kemarahan murid-murid (evpeti,mhsan) ketika menghalangi orang tua membawa anak-anaknya pada Yesus. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus sangat menghargai anak-anak sebagai manusia yang utuh bahkan dengan kedudukan mereka sebagai pemilik Kerajaan Allah.
            Apa yang diungkapkan penulis injil Markus ini sangat kontradiktif dengan keadaan yang terjadi pada saat itu (sekitar penulisan injil Markus). Anak bahkan tidak mendapat perhatian khusus orang tua, pihak agama dan pihak pemerintah. Karena mereka lebih sering menjadi ‘barang dagangan’ untuk membayar kewajiban pajak kepada penguasa politis maupun penguasa agamawi dari pada dihargai sebagai manusia yang utuh.  
            15 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya. Orang-orang dewasa harus mencontohi anak kecil. Suatu hal yang mustahil, sebab anak-anaklah seharusnya yang mencontohi orang dewasa. Tetapi hal seperti inilah yang ingin diungkapkan penulis Markus. Bahwa orang dewasa tidak lebih baik dari anak-anak maka sepantasnyalah orang dewasa menghargai anak-anak sebagai manusia utuh yang memiliki hak yang sama dengan orang dewasa.
                16Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka. Sikap Yesus ini adalah klimaks dari peristiwa ini. Yesus tidak menolak mereka tetapi merangkul dan memberkati mereka. Sikap dan perkataan Yesus pada ayat 15 & 16 menunjukkan bahwa orang dewasa bahkan tidak berhak atas Kerajaan Allah jika mereka tidak menjadi seperti anak-anak kecil tersebut. Hal ini berarti anak-anak merupakan pribadi yang berharga di hadapan Allah, mereka bukan ‘barang dagangan’ tetapi manusia. Kritik ini ditujukan terhadap para penindas anak-anak, terutama mereka yang menciptakan keadaan politik-ekonomi-keagamaan yang memaksa para orang tua menjual anak-anak mereka. Suatu bentuk protes Markus terhadap penindasan yang dialami oleh anak-anak. Jika Yesus yang adalah Guru, Teladan, bahkan Tuhan menunjukkan penghargaan dan kepedulian yang besar terhadap anak-anak bahkan dengan memarahi para murid yang menghalangi anak-anak datang pada-Nya maka pihak pemerintah dan agama pun seharusnya berbuat demikian. Injil Markus sebagai counter narrative terhadap wacana dominan (pemerintah Romawi) telah menentukan sikapnya terhadap anak-anak, bagaimana sikap wacana dominan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar