Hampir 5 tahun di Jawa Tengah dan baru tahun ini benar-benar
menikmati suasana hari raya Idul Fitri yang benar-benar mirip suasana Natal. Bagaimana
tidak? H-1 sendirian di kosan sama seperti suasana Natal pertama tahun 2008 di
Salatiga, sementara di luar orang-orang begitu sibuk mempersiapkan diri untuk
hari raya besar ini, apalagi kota dimana aku tinggal adalah kota yang
penduduknya mayoritas beragama Islam. Dan kos-kosan ku tepat berada di samping
sebuah Masjid Agung dan hampir sebagaian besar tetangga beragama islam. Teman-teman
kos semuanya Islam. Aku bersyukur banget, hidup berdampingan dengan mereka
adalah mata kuliah yang gak pernah kudapatkan di kelas-kelas teologi.
Malam Takbirannya sungguh luar biasa selain terkesan hura-hura. Baru
sekali ini menemukan rombongan yang merayakan malam takbiran dengan music dugem,
ckckckkc. Truk penuh sound system lengkap dengan cowok-cowok yang bergoyang
menikmati malam kemenangan persis di depan gereja tempatku berlatih menyanyi. Bass
dengan volume full di depan gereja sukses membuat dada sesak dan sakit. Aku langsung
cuss pulang kos. Dan ternyata… jalanan macet luar biasa. Aku baru belajar naik
motor dan harus melewati puluhan motor yang berjalan sangat pelan di depanku
diiringi kembang api dan petasan di samping kiri kanan jalan. Alhasil, aku
berdoa sepanjang jalan. Masuk kos dengan tidak sempat membeli makan malam. Jadinya,
aku cuma minum susu dan makan biskuit.
Hari makin larut, di luar bunyi petasan dan kembang api masih
terdengar ramai, sedangkan aku menikmati kesendirian di dalam kamar kos. Sungguh
gak enak rasanya tinggal sendiri. Aku mulai ketakutan, gimana kalau di dalam
kosan ini ada pencuri? Atau gimana kalau ada ‘penjaganya’? Tapi syukurlah, letihku
beraktifitas selama sehari membuatku berhasil tertidur pulas.
Aku terbangun pukul 08.30 pada keesokan harinya. Suasana kosan
sangat sepi bahkan di luar pun masih terasa seperti pukul 01.00 dinihari. Aku memberanikan
diri keluar mengendarai motor dan mengelilingi kota ini dengan harapan
menemukan warung makan yang tetap beroperasi di hari raya ini. Dan ternyata aku
harus berlapang dada, semua took dan warung tutup. Aku berpikir, tinggal di
tempat ini berarti siap makan mie instan selama beberapa hari dan ini bukan
pilihan yang tepat mengingat aku punya riwayat penyakit typhus. Dan setelah
melewati perjuangan panjang dari yang bis mogok, harus berdiri kurang lebih 1,5
jam, uang bis melonjak, macet, aku tiba juga di kota tercintaku, Salatiga. Di sana
bisa masak, menikmati opor ayam dan ketupat. Lebaran kali ini memang luar
biasa. Mengutip salah satu statusku di jejaring social :
“Benar benar lebih memaknai
lebaran tahun ini. Entah kenapa sy juga malah ikut2an penuh sukacita lebaran,
selamat merayakan kemenangan basodara. Terima kasih kota kecil, pemahaman sy
banyak berubah. Dan bersyukur, besok kalo masuk skolah тι∂αк perlu kasian lihat
bbrp murid berusaha tahan lapar n melawan godaan мαкαη saat lihat teman2 mereka
sarapan n мαкαη siang di skolah... Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin
khusus buat murid2 terkasih. Kalian telah menang”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar