Mungkin
judul postingan di atas adalah judul yang aneh ya. Ia sih terkesan hobi makan
judulnya. Postingan ini tidak sedang bicara tentang hobi makanku yang banyak
loh. Aku ingin memaparkan kebiasaan makan bersama pada jemaat mula-mula dan
tradisi makan bersama pada masa Yesus dikaitkan dengan acara makan bersama masa
kini. Postingan ini terinspirasi dari kebiasaan makan bersama di gereja
tempatku melayani saat ini.
Kesan
pertama ketika berjemaat di tempat ini adalah jemaat yang senang makan bersama.
Baru sekali ini aku menemukan gereja selalu yang menempatkan acara bersama di
awal setiap kegiatan. Misalnya, setiap akan mengadakan rapat, makan dulu, tiap
akan berlatih paduan suara, makan dulu, setelah melayani di hari Minggu, makan
lagi. Hampir setiap kegiatan di gereja selalu ada sesi makan bersama. Hampir setiap
malam aku ke gereja dan hampir setiap malam pun aku makan malam di gereja
sehingga jarang sekali menikmati makan malam di rumah.
Berlatih
paduan suara hanya memakan waktu sekitar 1,5 jam selebihnya adalah makan
bersama. Hebatnya yang menyediakan makan adalah orang yang sama tiap minggunya
padahal satu minggu anggota paduan suara berlatih sebanyak 2x. Tidak ada tanda
sungut-sungut atau mempersiapkan makanan dengan setengah hati justru yang
terjadi (kesanku sih) penyedia makanan sangat menikmati pelayanan yang ia
lakukan.
Berdasarkan
pengalaman ini aku tertarik untuk menggali apa sih makna makan bersama? Dari
mana tradisi ini diadopsi?
1.
Makna
makan dalam PL
Makan atau memberi makan orang lain adalah kehormatan bagi yang
memberi makan karena dengan memberi makan seseorang mendapat sahabat baru (Kej
18: 1-8); makan atau memberi makan orang asing adalah suatu kebajikan karena akan
mendatangkan ganjaran kebaikan (Kej 19:1-3); makan bersama adalah penanda
pentingnya pertemuan dan semacam pengesahan pertemuan (Kej. 24: 1-67).
2.
Makna
makan dalam PB
Makan bersama adalah tanda persekutuan atau pertemanan (Mat. 9:
10-11); makan adalah sarana penginjilan (Luk 19:1-9); makan bersama berarti memberkati
anggota jemaat yang kurang mampu (Kis 2:46)[1]
3.
Makna
makan dalam jemaat mula-mula
Tradisi makan bersama pada jemaat mula-mula makin sering terlihat
pada masa setelah kenaikan Yesus ke sorga, setelah khotbah Petrus di serambi
Salomo yang menghasilkan 3.000 orang pengikut baru. Untuk menjaga persekutuan
ini biasanya mereka berkumpul untuk memecahkan roti (makan bersama).[2]
Orang kaya melayani orang miskin. Ketika jumlah ini tidak mampu lagi ditampung
di rumah-rumah persekutuan ini dibagi menjadi kelompok-kelompok hingga akhirnya
mereka mulai membentuk sebuah institusi yang perkembangannya sekarang kita
kenal sebagai gereja. Sekalipun masa itu orang kaya berbagi dengan orang miskin
tak pelak juga di antara mereka terjadi perselisihan antara orang Yahudi
peranakan dengan orang Ibrani mengenai pelayaanan kepada janda yang tidak
merata sehingga perlu diangkatnya 7 pelayanan meja (Kis 6:1-6).
Untuk sampai pada sebuah persekutuan meja tanpa ada jurang pemisah
antara si kaya dan si miskin saya mengajak kita melihat bagaimana Yesus
menawarkan tradisi makan bersama kepada orang-orang yang sebenarnya tidak
pantas menerimanya bila didasarkan pada hukum keagamaan Yahudi.
4.
Makan
bersama dalam Gerakan Yesus
Mengutip
satu paragraf skripsiku:
Gerakan
Yesus tidak memanggil orang-orang saleh dari Israel melainkan mereka yang cacat
secara keagamaan dan secara sosial kaum pecundang dan pemanggilan ini ingin
menyatakan kesederajatan antara orang benar dan orang berdosa, miskin dan kaya,
laki-laki dan perempuan dan orang farisi dan murid Yesus. Yesus duduk bersama
di sekitar meja pada suatu pesta perkawinan dan bukan askesis dari orang suci.
Persekutuan meja ini terjalin bersama dengan orang miskin, orang berdosa, para
pemungut cukai, dan pelacur serta semua yang tidak tergolong dalam bangsa yang
kudus. Kepada mereka Yesus memberitakan visi eskatologis dan realitas
pengalaman yang akan datang dan yang sudah hadir. Mereka yang hampir mati
karena kelaparan dan putus asa karena tidak melihat jalan keluar dari
kemiskinan mereka ke masa depan dijanjikan basileia bahwa Allah akan menjadikan
perjuangan mereka keprihatinan Allah sendiri.
Marcus Borg menulis dalam Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali bahwa makan bersama merupakan penerimaan timbal
balik. Tidak ada orang baik-baik yang makan semeja dengan sampah-sampah
masyarakat tetapi Yesus melakukannya sebagai bentuk mikrokosos sistem sosial,
yakni penjelmaan wawasan sosial. Siapa saja boleh datang. Etos bela rasa
menimbulkan suatu persekutuan makan bersama yang inklusif.[3]
Untuk dapat menjelaskan hal ini dengan lebih baik, maka pendapat Choan Seng Song perlu ditambahkan dalam
postingan ini. Menurutnya, makan bersama adalah suatu pengalaman rohani yang
amat mendalam. Makan bersama memang merupakan tindakan sacramental. Choan
menjelaskan logika kasih Allah dalam beberapa pernyataan. Yesus bergaul dengan
orang berdosa dan mati seperti orang berdosa. Tidak seorangpun dapat menghalangi
Dia untuk menjadi sahabat orang berdosa dan mereka yang tersingkir dari
masyarakat. Bahkan Dia menegaskan: jika Allah bukanlah Allah bagi orang-orang
berdosa maka Allah bukanlah Allah; bila Allah menjauhi kumpulan para pemabuk
maka sifatNya sebagai Allah berkurang; bila Allah mengabaikan para pelacur maka
Allah bukanlah pencipta seluruh umat manusia, termasuk para pelacur; dan bila
Allah takut secara terbuka menunjukkan empatinya bagi orang-orang yang tidak
berarti, maka Allah bukanlah Penebus yang menyerahkan Yesus sebagai tebusan
bagi banyak orang. Hanya dengan bersikeras bersahabat dengan orang berdosa
Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah Allah.
Hal di atas menjelaskan mengapa Yesus betah duduk makan dengan
orang berdosa. Tapi disini letak persoalannya. Tindakan Yesus duduk dan makan
bersama dengan orang berdosa menimbulkan kehebohan di kalangan elit dan lembaga
keagamaan. Mengapa? Perlu dipahami bahwa di dunia Timur dari dulu sampai
sekarang, ‘mengundang seseorang makan
adalah suatu kehormatan.’ Ini adalah suatu tawaran perdamaian, saling
percaya, persaudaraan, dan pengampunan. Singkatnya, makan bersama berarti
bersama-sama memiliki kehidupan.
Lalu mengapa para elit dan pimpinan keagamaan menjadi heboh? Pertama-tama
harus dipahami bahwa dalam suatu undangan makan terkandung didalamnya
kehormatan. Unsur kehormatan inilah yang mengubah persekutuan meja menjadi
persekutuan diskriminasi. Karena mengandung kehormatan maka hanya orang-orang
tertentu yang dapat diundang. Untuk bisa diundang seseorang harus menjadi
anggota kelas tertentu (keagamaan, intelektual, professional), dan standar
dasar (kekayaan, pendidikan, nama baik, keberhasilan). Kehormatan dalam persekutuan meja adalah
kehormatan bersyarat. Artinya, kehormatan yang diberikan pada seseorang karena
kelas, kelompok dan jasa baiknya.
Ini letak kehebohannya. Ketika makan bersama orang-orang berdosa,
Yesus sedang menjungkirbalikkan kesepakatan-kesepakatan keagamaan dan sosial
tentang kehormatan. Orang berdosa tidak mempunyai kehormatan sosial tapi Yesus
memberikan kehormatan pada mereka, mereka tidak dianggap sebagai anggota
masyarakat tapi Yesus mengakui tempat mereka dalam masyarakat, mereka tidak punya
jasa baik apapun namun Yesus menegaskan jasa baik mereka, yaitu bahwa mereka
adalah manusia. Ketika mereka menerima undangan makan dari Yesus pada
saat yang sama mereka sedang menerima kehormatan dengan cuma-cuma, kehormatan
tanpa syarat kelas, kelompok atau jasa baik. Pada persekutuan meja itu mereka
bukan lagi pemungut cukai, pelacur, penipu, orang-orang miskin tapi manusia
persis seperti yang lain.[4]
Sungguh sebuah asal mula tradisi makan bersama yang sangat
menyentuh hati. Bayangkanlah perasaan berharga yang diperoleh para orang
berdosa ketika duduk semeja dengan Yesus, sang Guru. Benar bahwa makan bersama
berarti bersama-sama memiliki kehidupan. Sepertinya tidak salah untuk
menyimpulkan bahwa hal inilah yang sedang dilanjutkan oleh gereja-gereja di
seluruh dunia ketika menempatkan acara makan bersama (selain sakramen Perjamuan
Kudus) sebagai salah satu acara sentral dalam setiap persekutuan (persekutuan
keluarga, kelompok pemahaman Alkitab, Ibadah Syukur, dll). Gerejaku yang hobi
makan bersama hampir setiap hari kemungkinan berdasar pada spirit persekutuan meja
ini walaupun ketika makan kami tidak pernah mengelilingi sebuah meja makan yang
bundar. Semakin banyak acara makan-makan, semakin akrablah kita. Yup, ini yang
kurasakan di tempat ini selain banyak makan aku jadi gendutt :p.
Jadi
kalau kebetulan suatu saat diundang makan, ingatlah tradisi makan bersama dari
gerakan Yesus ini. Makan bersama selain mengakrabkan, membuat kita sadar bahwa
kehidupan ini milik bersama dan bahwa kita ini terhormat karena Allah memberi
kita kehormatan secara cuma-cuma.
*posting
terpanjang. Saking niatnya sampe bongkar-bongkar buku teologi dan baru kelar
jam segini: 23.46*
[1] Edi
Suranta Ginting, Teologi Makan. http://gerejagiki.wordpress.com/2013/02/27/teologi-makan/
bdk. Kis 2:42-47)
[2] Bavinck,
Sejarah Kerajaan Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 686-700
[3] Marcus
J Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
66-67
[4] Choan
Seng Song. Allah Yang Turut Menderita
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012) 171-174
Ruaaaaaaaaaar biasa pal..
BalasHapusKm memang sudah ditakdirkan untuk menulis pal.. ;)
Jadi terinspirasi juga untuk berusaha membaca dan menulis biar bisa menghasilkan tulisan sebagus ini.. )
Tetap semangat pal, terimakasih juga buat inspirasi yang kuperoleh darimu.. (y)
Berle kamu palyang, tapi makasih ya :)
Hapusayoo semangatt menulis, ini juga sampe bela-belain baca buku dan tidur jam 12 malam
Pengetahuan yg baru bagi beta yang bukan Teologi...terima kasih adik sudah berbagi ilmunya..selamat makaaan :D
BalasHapusHehheheh sama-sama kakak
Hapusselamat makan,
kalo makan-makan jang lupa undang beta :)
mantaaap riss...:)
BalasHapusklo bagi aku apa yang dilakukan bersama org2 terkasih memang sangat menyenangkan apalgi klo makan bersama..meskipun lauknya sederhana tp ttp terasa nikmat ^^
Betul kak
Hapusmakanan sederhana akan terasa nikmat bersama dengan orang-orang terkasih :)
*kedip-kedip mata*
:p